Powered By Blogger

Kamis, 25 April 2013

HURT PART 6

Aku yakin, semua ini darimu. Aku sangat berterima kasih. Sungguh, kau sungguh bodoh. Apakah ini kejutan namanya? Aku selalu menunggu kejutan-kejutan lain darimu, Si Pemacu Jantung...

Malam telah tiba, Fany sudah pulang sedari sore tadi. Aku bercerita banyak hal padanya tadi. Aku menceritakan bagaimana perasaanku pada Jimmy dan kubilang bahwa aku bingung mengartikan apa yang kurasa saat ini. Fany hanya tertawa melihat tingkahku yang menurutnya aneh, seperti orang yang baru pertama kali menyukai lawan jenis katanya. Sepertinya percuma aku bercerita padanya, karena aku tidak menemukan jawaban atas perasaanku yang sebenarnya pada Jimmy.

Pukul 20.00 aku masih mengerjakan tugasku. Aku sudah mulai merasa pusing dengan angka-angka dan kalimat-kalimat yang rumit ini. Tak sengaja aku memandang cermin, terlihat mataku yang sudah mulai sayu di sana.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada telepon dan itu dari Ken. Aku buru-buru memencet tombol hijau yang ada diponselku, "Halo" ucap kami berbarengan. Aku langsung mendekap mulutku karena salah tingkah "Sorry, aku ganggu?" kata Ken takut-takut. "Tidak, oh ya kak Sica mau minta maaf soal yang tadi di sekolah" kataku lirih sambil menundukkan kepala. "Minta maaf? Kenapa harus minta maaf? Kamu gak salah kok. Lagi pula hak kamu untuk berpelukan sama siapapun, aku gak berhak melarang kan? Haha.." katanya diakhiri tawa miris. Aku sungguh tidak enak hati dengannya karena kejadian di sekolah tadi.

"Tapi tadi kakak terlihat tidak suka saat melihatku berpelukan dengan Jimmy, apa itu yang dikatakan tidak marah?" kataku menahan air mata. Rasanya sesak saat mengetahui orang yang sudah kuanggap kakakku sendiri itu sedang marah padaku "Aku bilang aku gak marah! Aku telepon kamu cuma mau bilang kalau mulai besok pagi yang antar kamu ke sekolah dan pulang itu Jimmy, bukan aku. Maaf mengganggu waktumu. Sudah dulu. Bye." belum sempat aku menjawab semua perkataannya, dia sudah memutus telepon kami.

Tangisku pecah. Kurasa besok aku harus bicara dengan Ken tentang ini. Minatku untuk meneruskan tugasku hilang. Aku menutup semua buku pelajaranku dan langsung naik ke tempat tidur setelah itu mulai memejamkan mataku untuk tidur. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Semoga besok akan berjalan lebih baik.

Keesokan harinya...
Pukul 06.00 aku sudah bersiap pergi ke sekolah. Aku sedang menunggu Ken di teras, ah salah maksudku menunggu Jimmy.

10 menit kemudian, orang yang kutunggu datang. Dia turun dari mobilnya dan masuk ke rumahku “Pagi cantik.” Katanya sambil mengulas senyum. Aku juga jadi ikut tersenyum melihat sikapnya yang begitu manis pagi ini “Pagi juga. Ah yasudah ayo kita jalan ini sudah jam 6 lewat, nanti kita terlambat” kataku sambil menarik tangan Jimmy berlari menuju mobilnya.

Diperjalanan aku hanya diam sambil mendengarkan musik melalui headsetku.  Tiba-tiba Jimmy menepuk pundakku dan itu membuatku terkejut “Hey! Sudah tau belum?” katanya sambil melepas satu headset yang menggantung di telingaku. “Tau apa?” kataku sambil memiringkan kepala dan berkedip. Jimmy yang melihatku melakukan kebiasaanku saat kebingungan itu hanya tersenyum “Mulai hari ini dan seterusnya-“ belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, aku sudah memotongnya karena aku sudah tau lanjutannya apa “Yang mengantarku sekolah dan pulang adalah kau?” kataku dan itu membuatnya sedikit terlonjak. “Ah ya, benar. Kamu tau darimana?” katanya bingung, “Dari kak Ken, semalam dia menelponku dan memberitaukan hal ini” kataku sambil memasang kembali satu headset yang tadi dilepasnya. “Oh begitu” katanya sambil melanjutkan kegiatan menyetirnya.

Setelah percakapan tadi, tidak ada yang memulai pembicaraan lagi sampai akhirnya kami sampai di sekolah.  Aku turun dari mobil diikuti Jimmy yang setelah itu berjalan di sampingku.

Entah mengapa aura Jimmy hari ini begitu berbeda. Dia begitu mempesona? Ah entahlah mungkin itu hanya pemikiranku saja.

Siswa-siswa melihat kami sepanjang kami berjalan. Aku mengerutkan dahi pertanda bingung “Ada yang salah dengan penampilanku hari ini?” kataku bertanya pada Jimmy. Jimmy yang sedari tadi berjalan tiba-tiba menghentikan langkahnya “Emmm…. Iya Sica” katanya sambil melihatku dari atas sampai ke bawah. Itu membuatku terkejut “Hah? Kenapa kamu gak bilang dari tadi sih!” kataku sambil mengibas-kibaskan tanganku ke bajuku. Jimmy terlihat bingung “Hahaha dasar bodoh, kau hari ini tampak sangat berbeda. Kau tampak sangat cantik dan emmm… apa kau memotong rambutmu?” katanya sambil mengelus rambuku. Napasku tercekat, sungguh rasanya aku ingin terbang saat ini juga “Ah sudahlah ayo kita ke kelas” katanya sambil merangkulku.

Pagi yang menurutku paling indah, kau isi dengan keindahan pula. Aku hampir tak bisa bernapas saat kau melakukannya padaku. Tolong hentikan sebelum tumbuh sayap di punggungku dan membawaku terbang ke angkasa…

Sesampainya di depan kelasku, Jimmy menarik tanganku lalu menangkupkan kedua tangannya di pipiku “Belajar yang benar, aku tunggu kau di sini saat bel istirahat nanti. Sudah sana masuk. Aku mau ke kelas dulu ya. Bye.” katanya dan diakhir kalimatnya dia memelukku sebentar lalu pergi.

Aku berjalan memasuki kelas. Tak sengaja aku menabrak meja dan saat itu juga seluruh isi kelas tertawa dan menyorakiku “Hahahaha Sica salting tuh. Jalan aja sampai nabrak. Hati-hati dong Sica.” kata salah satu temanku meledek. “Biasalah.... Orang lagi jatuh cinta ya gitu kan hahahaha...” sahut yang lainnya.

Bayang-bayang wajah Jimmy di depan kelas tadi masih terlihat jelas. Aku hanya senyum-senyum sendiri mengingatnya “Sica! Jangan senyum-senyum sendiri begitu nanti dikira gila sama yang lain” kata Fany menyadarkanku. Aku mengedipkan mataku berkali-kali sambil menggelengkan kepalaku “Ah hehehe.... iya Fany maaf habisanya emm…. Hehehe…..” kataku sambil tertawa lagi. Fany menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan napasnya kuat-kuat “Haaaaah inilah pemandangan seseorang yang sedang JATUH CINTA!” katanya disertai penekanan dikata JATUH CINTA.

DEG!

Apa benar ini yang disebut Jatuh Cinta? Aku? Jatuh Cinta pada Jimmy? Benarkah?

Jatuh Cinta? Benarkah? Tolong jawab pertanyaanku ini. Aku bingung dengan ini semua. Rasa sakit, sesak, senang, sedih dan sebagainya yang kurasakan akhir-akhir ini apakah adalah akibat dari peristiwa yang disebut Jatuh Cinta?

Aku mencoba berkonsentrasi dengan pelajaran pagi ini. Aku melupakan sejenak tentang Jimmy ataupun Ken yang akhir-akhir ini selalu membuat kekacauan.
.
.
.

Tanganku masih saja menulis kalimat-kalimat penting yang ada di papan tulis dengan serius. Sekarang tinggal aku sendiri yang ada di kelas. Fany yang katanya sudah tak tahan ingin makan, tadi sudah berlari menuju kantin untuk membeli makanan.

Aku menoleh ke arah kanan dan betapa terkejutnya aku saat melihat Jimmy yang sedang duduk diam memandangiku yang sedang menulis “Aishh kau mengagetkanku saja! Sejak kapan kau sudah ada disini hah?” tanyaku sambil menatapnya tajam. Orang yang kutatap itu hanya tertawa sambil memegangi perutnya. Apa dia gila, aku tanya malah tertawa “Hahahahahaha astaga kamu itu lucu. Mukamu lucu saat kaget tadi hahahaha…” katanya masih tertawa terbahak-bahak.
Dia mencubit satu pipiku sambil merangkulku. Sungguh, dia menyebalkan sekali saat ini. Kutarik perkataanku yang tadi menyebutnya mempesona hari ini.

Sekarang, aku dan Jimmy sedang berada di kantin. Aku masih saja cemberut mengingat apa yang dilakukan Jimmy di kelas tadi. Aku menyantap makanan yang aku bawa tadi dengan malas. Jimmy yang melihatku hanya berdiam sambil memakan makanannya ”Jelek banget sih kamu cemberut gitu” katanya lalu menyuap sesendok makanan. Aku yang diajak bicara hanya diam saja merespon perkataan Jimmy.

Tiba-tiba saja Jimmy bangkit dari duduknya lalu berlalu meninggalkanku sendirian. Aku bingung, seharusnya aku yang marah padanya, bukan dia. Masa bodoh dengan Jimmy, aku juga berhenti makan lalu beranjak pergi menuju taman belakang sekolah.

Aku berjalan menghampiri bangku panjang tempat biasa aku duduk memandangi rerumputan dan bunga-bunga di taman ini. Aku hanya sendirian saat ini. Rasanya amat sangat tenang. Aku sedang tak ingin diganggu.

Tapi beberapa saat kemudian, seseorang mendudukkan dirinya di bangku yang sama denganku. Gadis yang kemarin. Gadis itu terlihat berbeda, dia tersenyum melihatku. Tidak seperti kemarin yang berlari dan selalu menghindar saat aku mendekatinya.

Aku membalas senyumnya dan memulai pembicaraan ”Hey. Waah sepertinya kau sedang senang ya.” Kataku sambil tersenyum. Dia juga ikut tersenyum. Sepertinya aku dan dia hanya senyum-senyum saja sedaritadi “Haha tidak juga.” katanya sambil menunduk. Pemandangan kemarin mulai terlihat. Dia kembali murung “Kenapa lagi?” kataku sambil merangkul pundaknya.

Tak ada jawaban. Aku melihat secarik kertas yang sedari tadi dibawanya. Aku penasaran dengan isi kertas tersebut. Dia yang sedaritadi menunduk mulai meresponku “Tak apa Jessica” jawabnya sambil tersenyum. Aku tau, ada sesuatu yang tidak beres dengannya “Oh ya, sudah beberapa kali kita bertemu, tapi aku belum tau siapa namamu” kataku diakhiri tawa ringan. Gadis itu ikut tertawa melihat kebodohanku yang tidak bertanya namanya.

“Hahaha namaku Clara. Tapi kamu bias panggil aku Ara” katanya sambil tersenyum. Jadi nama gadis ini Clara. Ya, nama yang cantik ”Ah ya Ara. Emm lalu, bagaimana keadaan pacarmu. Apa dia sudah sadar dari komanya?” kataku berhati hati, takut menyunggung perasaannya.

Gadis itu menundukkan kepalanya lagi. Sepertinya aku salah tanya ”Dia sudah siuman. Keadaannya masih seperti kemarin, belum terlalu sehat. Kemarin aku menghubungi kesana lagi dan katanya bulan depan dia akan pulang ke Indonesia” katanya sambil memaksakan senyumnya.

Aku tau, Clara pasti sangat sedih dengan keadaannya saat ini. Tapi setidaknya aku ingin sekali membuatnya tersenyum walaupun hanya sehari. Tapi bagaimana caranya.

Aku memeluknya, mengelus pelan punggungnya. Mencoba menenangkan Clara. Aku juga berpikir, apa yang harus aku lakukan untuk teman baruku ini.

Beberapa saat kemudian, muncul sebuah ide diotakku. Aku melepas pelukan kami lalu beranjak dari kursi ”Sudah bel, ayo kita masuk. Nanti sepulang sekolah, aku tunggu kau disini. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Kau pasti akan menyukainya” kataku sambil tersenyum riang. Clara kebingungan dengan tingkah hyperku yang tiba-tiba ”Ah baiklah. Sampai jumpa” katanya sambil melangkah pergi. Aku juga ikut beranjak dari taman ini menuju kelasku.

Kau mempesona, tapi tiba-tiba pesonamu hilang. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang ada dalam dirimu dan mungkin aku tak akan pernah mengerti dirimu. Coba, kembalikan sikap manisku padamu. Aku tunggu...

Kamis, 21 Februari 2013

HURT PART 5

Entah berapa kali kau memberi kejutan padaku hari ini. Terima kasih, aku akan selalu mengingatnya. Kau adalah satu-satunya orang yang mampu melakukan dan memberikan hal-hal indah, kejutan-kejutan indah, serta perasaan yang indah seperti yang aku rasakan saat ini. Tetaplah seperti ini dan jangan berubah...
.
.
.
.

15 menit sudah kami berpelukan saperti ini, rasanya kesedihanku tiba-tiba meluap entah kemana. Aku menengadahkan wajahku dan tidak sengaja melihat Ken dan Fany sedang melihat ke arah kami berdua. Aku segera melepaskan pelukanku pada Jimmy dan langsung menundukkan wajahku. Wajahku memanas, aku malu. Sepertinya wajahku sudah berwarna merah padam karena kejadian ini.

Jimmy yang bingung melihatku tiba-tiba menghentikan pelukan kami, memegang pundakku dan aku langsung menunjuk ke arah belakang. Jimmy menolehkan kepalanya ke arah belakang dan melihat Fany dan Ken sedang berdiri mematung melihat kami.

Wajah Fany menampakkan ekspresi senang, sambil tersenyum ia terus melihat kami. Tapi tidak dengan Ken, ekspresi wajahnya datar dan dingin. Dia seakan menahan sesuatu yang akan segera meledak karena disulut. Aku bergidik ngeri melihat Ken.

Aku langsung menundukkan kepalaku dan berjalan menuju ke arah Fany. Fany terlihat bingung melihatku, tapi aku tetap menarik tangannya menuju kelas.

Sesampainya di kelas, aku langsung mengambil semua barang-barangku dan memutuskan untuk pulang. Tapi dengan bawaanku yang sebanyak ini, aku tidak mungkin pulang naik angkutan umum. Akhirnya Fany membantuku membawa barang-barang ini dan juga memberhentikan taksi yang lewat.

Aku dan Fany pulang bersama ke rumahku. Aku ingin bercerita banyak pada Fany tentang perasaanku saat ini. Tapi mungkin lebih tepatnya menanyakan apa sebenarnya yang sedang aku rasakan saat ini.

Selama di perjalanan, aku hanya diam memandang bingkisan besar yang belum aku buka ini. Aku memandanginya sampai Fany berkata "Apa kamu gak bosen lihatin bingkisan itu terus?" tanyanya padaku. Aku tidak sama sekali melepaskan pandanganku dari bingkisan ini "Tidak, aku hanya penasaran dengan isi bingkisan ini. Besar. Apakah isinya rumah?" ujarku sambil menyunggingkan senyum jahil. Aku menoleh ke arah Fany dan aku lihat Fany sedang mengeryitkan dahinya pertanda bingung "Menurutmu? Kau pikir orang itu sekaya apa mau membelikanmu rumah hah? Bodoh sekali kau ini. Lagipula kalau ini isinya rumah mana mungkin kamu bisa membawanya. Dasar Innocent Princess, apa sekarang aku harus memanggilmu dengan sebutan Stupid Princess?" ucapnya sembil menyentil dahiku diakhir kalimatnya.

Aku tersenyum mendengar celotehan Fany, sambil memikirkan kejadian di sekolah tadi. Aku senyum-senyum sendiri sekarang. Tapi tiba-tiba bayangan tadi menghilang digantikan oleh banyangan wajah Ken yang terlihat marah. Kenapa Ken memasang ekspresi seperti itu tadi? Ada yang salah denganku dan Jimmy? Aku pikir tidak.

Sesampainya di rumah aku langsung masuk dan mendapati bunda sedang duduk di ruang tamu. Bunda terkejut melihatku pulang "Ya ampun Jessica apa-apaan itu?" kata bunda sambil berdiri dan melihat bingkisan yang aku bawa. Aku hanya senyum-senyum sendiri melihat bunda yang begitu terkejut melihat bingkisan besar dan bunga-bunga yang aku dan Fany bawa. Aku menjawab pertanyaan bunda dengat takut-takut "Emmm.... itu emmm... emmm... ini dari emm ya dari orang bunda hehe.." kataku salah tingkah.

Bunda membalas jawabanku hanya dengan senyumnya. Setelah itu dia menyuruhku dan Fany untuk pergi ke kamarku "Sudah sudah bunda tidak mau ikut campur, kalian ke kamar sana." ujar bundaku sambil melihat ke arah tangga. Aku mengangguk dan langsung menarik tangan Fany menuju kamarku.

Sesampainya di kamar, aku langsung menaruh bingkisan besar ini di atas tempat tidurku. Aku melihat Fany langsung merebahkan dirinya di kasur setelah menaruh bunga-bunga itu di atas meja belajarku. Fany melirikku dan langsung bangun "Hehehehe maaf lancang, aku lelah huumm.." katanya sambil mengerucutkan bibirnya imut.

Aku hanya tertawa melihat ekspresi wajah Fany yang lucu itu "Hahahaha Fany cukup cukup, kau membuatku geli. Sudah sudah bersikap normallah, nanti kucubit pipimu itu hahaha..." kataku sambil tertawa terbahak-bahak. Namun itu malah membuat Fany semakin mengerucutkan bibirnya. Oh ayolah aku tak tahan melihat wajah lucu Fany itu "Aisshhh iya iya silahkan tiduran lagi, kau tidak perlu membayar." kataku sambil tertawa, dan aku malah mendapatkan lemparan bantal yang tepat mengenai hidungku.

Aku dan Fany merebahkan tubuh kami yang lelah di atas tempat tidurku. Aku hanya diam dan memandangi langit-langit kamarku. Keheningan menyelimuti, aku dan Fany sedang bergumul dengan pikiran kami masing-masing. Tiba-tiba bayangan ekspresi wajah marah Ken tergambar lagi dibenakku. Aku terkejut dan bangun. Fany yang sedaritadi diam memejamkan matanya ikut terkejut dan bangun juga "Ada apa?" katanya penasaran.

Aku menunduk dan mulai menjelaskan perasaanku pada Fany "Apa kau tadi melihatku dan Jimmy berpelukan?" tanyaku pada Fany. Fany menyipitkan matanya pertanda bingung "Ya, aku dan Ken lihat. Malah dari pertama kalian berpelukanpun kami lihat. Memangnya kenapa?" jelas Fany dan itu membuatku jantungku semakin berdebar.

Aku terlihat seperti orang bodoh saat ini. Aku hanya menunduk sambil terdiam, berpikir sendirian. Fany mengejutkanku dengan pertanyaannya lagi "Sebenarnya kalian sudah berpacaran ya? Aku lihat kalian sangat mesra tadi." ujarnya sambil tersenyum. Kau tau tidak Fany, senyumanmu itu terlihat seperti senyuman kemenangan. Entahlah, tapi aku melihatnya begitu.

Fany menatapku, menuntut jawaban dariku "Tidak. Kami tidak berpacaran. Mana mungkin." kataku sambil menunduk. Aku tidak berani menatap Fany. Fany menatapku curiga. Aku bingung, sebenarnya dia mau aku menjawab apa "Kamu kenapa?" tanyaku. Fany berhenti menatapku curiga dan tiba-tiba dia memelukku "Jessica, aku menyukai Ken. Apa aku salah?" katanya sambil terus mendekapku.

Mendengarnya berkata seperti itu, aku seperti disambar petir. Aku terkejut, sangat terkejut "Apa? Kamu suka sama Ken?" ujarku sambil menahan... sepertinya air mata. Fany semakin mengeratkan pelukannya dan menjawab pertanyaanku tersebut "Iya, aku suka sama Ken." jawabnya mantap.

Ada apa denganku? Aku marah? Oh ayolah Jessica, Ken hanya menganggapmu adik dan kau tau kan kalau kau juga hanya menganggap Ken adalah kakakmu.

Aku menatap sendu Fany yang masih memelukku. Dadaku sesak, seperti ada sesuatu yang akan jatuh dari mataku. Fany melonggarkan pelukannya dan melihat mataku "Matamu merah Sica, kamu kenapa?" katanya dengan nada panik. Aku memejamkan mataku dan mulai menjelaskan semuanya "Entahlah, mungkin aku terlalu menyayangi Ken makanya aku terkejut saat kau bilang kalau kau menyukainya." mencoba bicara jujur tentang perasaanku, apa salahnya?

Fany terkejut, dia menatapku tajam dan meremas jari-jariku "Sakit Fany!" kataku sambil melepaskan genggaman tanganya. Dia mendekat dan itu membuatku spontan memundurkan posisi dudukku "Menyayangi Ken sebagai kakakmu kan? Bukankah kau menyukai Jimmy? Iya kan?" tanyanya menyelidik. Pertanyaannya sungguh tepat mengenaiku.

Aku mengangguk menandakan bahwa aku menjawab 'Iya'. Tapi 'Iya' untuk yang mana? "Iya? Kau menyukai Jimmy? Ahh ternyata benar dugaanku selama ini kan hihihihi...." ujarnya sambil tertawa dan mencubit hidungku. Fany mengira aku menyukai Jimmy? Tapi apakah memang benar aku menyukainya? Oh ayolah Jessica, kau harus memantapkan hatimu sendiri.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku cepat-cepat mengambilnya dan ternyata ada telepon. Dari orang yang kemarin mengirim SMS misterius itu. Aku tekan tombol hijau di ponselku "Hallo, siapa ini?" ujarku penasaran. Seseorang di seberang sana hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku "Hallo! Jawab ini siapa, jangan membuatku takut dengan semua teror-terormu kemarin!" bentakku pada orang itu. Tiba-tiba terdengar suara tawa disana "Hahahaha aku menyukaimu Princess." katanya lalu dia memutus teleponnya.

Jantungku kembali berdebar tidak normal. Suara itu, mirip sekali dengan suara Jimmy. Apa itu Jimmy? Tidak, aku tidak boleh menuduhnya. Manik mataku melirik bingkisan yang masih terbungkus rapi itu. Aku mendekatinya dan duduk di kasurku. Aku memandanginya sebentar sambil mengelus pelan bingkisan itu.

Perlahan aku membuka bingkisan itu. Terlihat sebuah benda berwarna putih di sana. Terus terbuka sampai terlihat wajah sebuah beruang yang sangat lucu. Kubuka terus hingga pembungkisnya terlepas semuanya. Ternyata isinya adalah boneka beruang besar yang sedang memegang bunga mawar merah. Sunggu sangat lucu. Aku berteriak dan spontan memeluknya "Kyaaaaaa lucu sekaliiii!!!!!" kataku senang.

Aku belum pernah mendapatkan hadiah seperti ini sebelumnya. Terus kupeluk boneka itu dan kucium juga. Fany yang sedaritadi melihat tingkahku hanya tersenyum senang melihatku begitu gembira mendapatkan hadiah ini.

Tak sengaja aku memegang sebuah kartu. Kartu berwarna biru yang di luarnya bertuliskan 'WO AI NI'. Aku penasaran, akhirnya aku mengambil kartu itu dan sejenak melupakan boneka beruang yang baru saja aku peluk itu.

Aku buka kartu itu dan aku menemukan kata-kata yang begitu menenangkan di sana.

Hai dear, i'm Winni...
Ada sebuah pesan untukmu dari seseorang yang menyukaimu...

Tolong jaga aku baik-baik. Peluk aku bila kau bersedih. Ceritakan semua keluh kesahmu saat kau sedang kalut. Aku siap memelukmu juga ketika kau tertidur. Aku juga akan menghangatkanmu dengan bulu-buluku yang lembut ini saat kau kedinginan. Jangan lupa cium aku sebelum kau beranjak ke alam mimpi. Itu semua tugas yang diberikan oleh seseorang yang menyukaimu.

Kau mau tau siapa?

Ah sepertinya kau sudah tau. Baiklah, semoga kau senang menerimaku di hidupmu. Aku akan menjadi teman baru untukmu.
Ayo sekarang peluk dan ciumlah aku. 

WO AI NI 

Seperti sebuah.... Surat Cinta. Tapi, apakah itu Surat Cinta? Tak kusangka ada orang seromantis ini.

Sebuah bayangan seseorang muncul dibenakku. Jimmy. Apakah semua ini dari Jimmy? Apakah ini adalah kejutan lain yang Jimmy berikan untukku? Sungguh, aku harap memang dia yang memberikan ini semua.

Manik mataku kembali melirik hadiah lain dari orang misterius ini. Bunga-bunga mawar yang sedaritadi hanya aku pegang dan tak kulihat baik-baik. Aku mengambil semua bunga itu dan aku terkejut melihat apa yang ada di sana.

Ternyata disetiap bunga itu tertulis kalimat 'AKU MENCINTAIMU' dalam beberapa bahasa. Aku mendekati Fany dan duduk di sampingnya "Fany, kenapa kau tidak bilang kalau bunga ini ada tulisannya?" kataku sambil memajukan bibirku sedikit. Fany hanya tersenyum "Aku pikir kau sudah mengetahuinya hahaha" tawanya.

Aku dan Fany membaca tulisan yang ada di bunga-bunga ini. Bunga pertama tertulis '我爱你'. Aku tau bahasa apa itu "Wo ai ni" kataku lirih, tapi Fany masih mendengarnya dan mengangguk. Bunga kedua tertulis '私はあなたを愛して' dan sekarang yang membaca adalah Fany "Watashi wa anata o aishite" katanya sembil tersenyum. Bunga ketiga tertulis '당신을 사랑' aku tau bahasa ini dan aku menyebutkannya lagi "dangsin-eul salang" kataku sambil tertawa "Bahasa Korea? hahahaha" ujarku dan Fany serempak. Ya, kami sangat tau bahasa apa ini karena kami sama-sama menyukai bahasa ini.

Bunga keempat bertuliskan 'Ich liebe dich'. Sekarang Fany yang menyebutkan "Ich liebe dich." katanya sambil membentuk jarinya membentuk lambang hati dan menempelkannya ke dadanya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Bunga kelima bertuliskan 'Mahal kita' dan aku yang menyebutkannya sekarang "Mahal kita?" kataku sambil memirikan kepalaku pertanda bingung. Fany yang mengerti bahasa apa itu malah mentertawakanku "Hahahaha Jessica itu bahasa Fillipina." ujarnya sembil menyenggol lenganku.

Bunga keenam bertuliskan 'ผมรักคุณ' dan Fany yang membacanya "P̄hm rạk khuṇ" ucapnya jelas dan aku hanya mengeryitkan dahi. Lagi-lagi Fany mentertawakanku atas hal ini "Itu bahasa Thai dasar bodoh hahahaha" katanya sambil memukul dahiku menggunakan bunga itu. Oh ayolah aku hanya lupa itu bahasa Thailand hahaha...

Bunga ketujuh bertuliskan 'Ti amo' dan sekarang aku yang membacanya "Ahaaa Ti amo!" kataku bersemangat "Kalau yang ini aku tau habasa apa." kataku gembira. Fany menantangku "Bahasa apa hayoooo....." katanya meledek "Itu bahasa Prancis" kataku sambil mengacungkan jari telunjukku dengan semangat. Tiba-tiba Fany tertawa terbahak-bahak "Hahahahahahaha salah! Itu bahasa Italia tau hahahahaha aduh kau ini bodoh sekali." katanya sambil terus tertawa. Aku kesal dan aku menjitak kepala Fany dengan keras. Fany hanya meringis kesakitan "Aduh sakit! Yasudah ayo lanjut. Sekarang Je t'aime. Nah ini baru bahasa Prancis." katanya sambil menunjuk tulisan 'Je t'aime' di bunga itu.

Bunga kedelapan bertuliskan 'I love you' dan kami mengucapkannya serempak "I love you" dengan suara lirih tetapi masih bisa kami dengar. Bunga kesembilan bertuliskan 'Aku mencintaimu' dan kami mengucapkannya serempak lagi "Aku mencintaimu hahahahaha" ucap kami sambil tertawa.

Aku yakin, semua ini darimu. Aku sangat berterima kasih. Sungguh, kau sungguh bodoh. Apakah ini kejutan namanya? Aku selalu menunggu kejutan-kejutan lain darimu, Si Pemacu Jantung...
.
.
.
.
.
to be continue...

HURT PART 4

. . . . . . . . . . . .
Satu lagi kebiasaanmu, kau selalu memiliki banyak akal untuk memberikan padaku sebuah kejutan besar. Kau tau tidak aku sangat menyukai kejutan, apalagi kejutan itu adalah kejutan yang indah dan tak bisa kulupakan. Kutunggu kejutanmu selanjutnya Jimmy...
.
.
.
.
Aku terdiam melihat Jimmy berdiri di samping mobilnya sambil tersenyum simpul. Kau tau bagaimana rasanya saat melihat ia tersenyum begitu? Jantungku serasa ingin melompat keluar.

Jimmy menghampiriku dan berkata "Jangan bengong, nanti ayam kamu mati hahaha" katanya bergurau. Aku tersadar dari lamunanku dan mengedipkan mata tanda aku baik-baik saja. Entahlah, selama ada dia di dekatku jantung ini tidak normal detaknya. Darahku mengalir lebih cepat daripada keadaan normal. Agak berlebihan? Memang, tapi ini yang aku rasakan sekarang.

Tiba-tiba Jimmy menarik tanganku masuk ke mobilnya. Dia menutup pintu mobilnya. Tak lama dia masuk dan langsung melajukan mobilnya menuju sekolah. Aku hanya diam saat di perjalanan, tapi Jimmy tiba-tiba bicara "Hadiah dari aku udah dipakai belum Jes?" tanyanya membuatku kaget. Aku terdiam beberapa detik, berpikir jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Lalu aku menjawab "Emm sudah, baru aku pakai beberapa halaman." jawabku tanpa sama sekali melihat ke arahnya.

Tak sengaja aku melirik ke arahnya, ternyata dia sedang tersenyum. Entah kenapa, aku juga ikut tersenyum melihatnya tersenyum. Sepertinya, saat ini kami hanya senyum senyum saja, entah apa yang ada dipikiran kami masing-masing. Kalau sekarang yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa tersenyum seperti ini hanya karena sedang berada di dekat Jimmy, mungkin aku sudah mulai gila.

***

Sesampainya di sekolah, Jimmy langsung memarkirkan mobilnya. Ternyata Ken sudah sampai dan dia tidak menjemputku hari ini, apa maksudnya dia itu. Aku turun dari mobil Jimmy dan langsung bergegas masuk kelas, aku tidak ingin bicara apapun dengan Ken pagi ini. Aku melirik sekilas ke arah Ken, aku mendapatinya sedang melihatku. Aku memalingkan wajahku ke arah lain dan berlari menuju kelas. Karena aku berlari sambil menunduk, tak sengaja aku menabrak seseorang "Awww..." rintihku, orang yang aku tabrak juga merintih kesakitan karena sama-sama terjatuh "Aisshh! Sakit!" katanya sedikit membentak.

Orang yang aku tabrak itu bangun dan membersihkan roknya yang kotor. Aku juga ikut berdiri dan merapikan bajuku yang sedikit berantakan. Orang itu, dia gadis yang kemarin aku tabrak di kantin. Wajahnya terlihat sangat marah. Aku bergegas minta maaf padanya "H-hey maaf a-aku tidak lihat tadi, maafkan aku." kataku ketakutan, mata gadis itu sudah melambangkan kekesalan yang sangat. Gadis itu tak berkata apa-apa, setelah itu dia langsung pergi dan saat aku menoleh mencari gadis itu dia sudah menghilang ditelan kerumunan anak-anak yang sedang berlari menuju kelasnya karena terlambat.

Pagi ini, suasana hatiku hancur. Entahlah, yang tadinya aku bersemangat malah menjadi seperti ini.

Tiba-tiba bel istirahat berbunyi, membuyarkan lamunaku. Fany yang sedaritadi sibuk dengan buku catatannya, sekarang mengajakku pergi ke kantin "Jessica ayo ke kantin, aku lapar ni." katanya manja sambil mengguncang-guncangkan tanganku. Dengan malas aku bangun dari kursi yang sedaritadi aku duduki.

Aku berjalan mengikuti Fany sambil menggenggam tangan Fany juga. Fany terus menarik tanganku sambil merengek "Aku lapar Jessica ayo cepat sedikit...." dan dengan gaya imut yang dia miliki.

Sesampainya di kantin, aku langsung duduk di kursi yang kosong dan melanjutkan lamunanku yang sempat terhenti tadi. Aku tidak makan siang ini, alasannya? tidak lapar atau mungkin karena suasana hatiku yang sangat buruk saat ini. Tak lama, Fany datang membawa makanannya. Dia membawa 2 piring makanan, entahlah sepertinya dia sangat lapar saat ini. Dia duduk dan menaruh 2 piring tersebut di meja. Tapi, salah satu piring tersebut digeser ke arahku "Ini makan, sepertinya kamu lapar." katanya sambil menaruh sendok dan garpu di atas piring "Ini untukku? Aisshh Fany, harusnya jangan repot-repot begini aku kan bisa beli sendiri." kataku menolak perlahan. Fany malah cemberut, memajukan bibirnya dan entah mengapa saat ini aku malah ingin tertawa melihat wajahnya yang lucu seperti itu "Jangan manyun, nanti aku ketawain loh..." kataku meledek, Fany malah mencubit hidungku "Ihhh dasar Innocent Princess" julukanku yang sudah lama tak dia sebut itu terucap lagi.

'Innocent Princess' adalah julukan yang Fany berikan padaku sejak pertama kali dia mengenalku. Entahlah, akupun bingung mengapa dia memberikan julukan itu padaku. Setiap aku tanya padanya mengapa dia memberikan julukan seperti itu padaku, dia hanya berkata "Kau polos hihihi..." jawaban yang sepertinya menggantung dan itu membuatku semakin tidak mengerti akan julukan itu. Tapi sudah lama dia tidak memanggilku dengan nama itu, tapi sekarang dia memanggilku dengan nama itu lagi. Sungguh, aku masih bingung dengan nama 'Innocent Princess' yang dia berikan padaku itu.

Akhirnya aku memakan makanan yang tadi Fany belikan untukku. Jujur, aku memang lapar sebenarnya tapi aku hanya malas untuk makan siang ini.

Tak sengaja di kejauhan aku melihat Ken berjalan menghampiri meja ini sambil membawa makanan yang dia beli. Aku muak melihat wajahnya. Kutundukkan kepalaku dan menyantap makananku lagi. Aku melihat piring yang diletakkan oleh Ken selagi aku menunduk menyantap makananku. Lama aku tak melihatnya, dia tidak menyapaku sama sekali, dia tidak menegurku. Ada apa denganya?

Kulihat Ken sedang asik mengobrol dengan Fany, aku mulai kesal sekarang. Entahlah sepertinya ada sesuatu yang ingin meledak melihat sikap Ken yang berubah drastis seperti ini. Aku menghentakkan kakiku dan mengetuk-ngetukkan sendok dan garpuku pertanda kesal. Fany memalingkan wajahnya ke arahku dan bertanya padaku "Kamu kenapa Jessica? Masih lapar ya?" tanyanya tanpa dosa. Dia pikir siapa yang membuatku kesal begini "Haha enggak kok gak kenapa-kenapa..." jawabku sambil mengukir seulas senyum yang sepertinya terlihat terpaksa.

Ken yang sedaritadi tidak memperhatikanku sekarang memalingkan padangannya ke arahku "Ada apa adik kecil? Hemmm?" tanyanya sambil mengelus rambutku dengan sayang "Gak, gapapa kok." kataku sekenanya. Ken melihatku dengan serius dan itu membuatku risih "Kakak kenapa deh kok lihatin aku sampai kaya gitu?" tanyaku pada Ken "Hahaha kamu lucu kalau lagi ngambek begitu. Jangan ngambek dong." katanya sambil mencubit pipi kananku.

Dia bangun dari kursinya dan menghampiriku, duduk di sebelahku. Tiba-tiba dia memelukku dan terdiam beberapa saat "Maaf tadi kakak diam, habis kamu tadi datang sama Jimmy sih." katanya manja. Halo, bukannya kau yang tidak menjemputku tadi pagi? Dasar bodoh "Loh? Kakak kan tadi gak jemput aku, makanya aku berangkat sama Jimmy. Lagipula tadi Jimmy yang jemput aku, bukan aku yang minta dijemput Jimmy." kataku kesal sambil berusaha melepaskan pelukan kak Ken yang begitu erat.

Ternyata Ken tidak menegurku karena tadi pagi aku datang bersama Jimmy. Kenapa dia harus marah? Tapi, kenapa aku juga tadi marah melihat Ken dekat dengan Fany? Kacau, aku pikir aku sudah gila karena emmm.... cemburu? Cemburu? Ah aku sudah gila sepertinya.

Beberapa saat kemudian orang yang sedaritadi dibicarakan datang. Kami bertiga menoleh ke arahnya yang sedang membawa sebuah bungkusan besar menuju ke arah meja kami duduk. Jimmy berhenti tepat di sampingku dan tersenyum simpul sambil melihat ke arah kami bertiga "Halo..." katanya sambil melambaikan tangannya. Aneh, pria ini aneh dari kemarin. Aku melihat bungkusan besar yang dibawa Jimmy, aku menerawang dan mengira apakah isinya dan untuk siapa bingkisan itu. Tiba-tiba dia pergi entah kemana. Benarkan, sepertinya sedang ada yang tidak beres dengan orang ini. Aku, Ken dan Fany hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepala melihat tingkah aneh Jimmy.

Setelah makan, kami bergegas kembali ke kelas. Aku dan Fany berpisah dengan Ken karena kelas aku dan Fany berbeda dengan Ken, kelas Ken di lantai 3 sedangkan kelasku dan Fany di lantai 2.

Aku menarik tangan Fany menuju kelas. Sesampainya di depan kelas, aku dan Fany bingung melihat kerumunan anak-anak mengitari kursiku. Aku bertanya pada salah satu temanku yang sedang ikut berdiri mengitari kursiku itu "Eh ada apa sih?" tanyaku padanya, tapi tiba-tiba dia malah berteriak "HEY JESSICA DATANG!" katanya. Aku semakin bingung, ada apa sebenarnya dengan kursiku.

Aku menerobos kerumunan anak-anak itu dan saat aku melihat apa yang terjadi dengan kursiku, aku terbelalak. Mataku membulat sempurna melihat keadaan kursiku yang penuh dengan beberapa tangkai bunga dan ada sebuah bingkisan besar juga disana. Kakiku membeku, seperti tidak bisa bergerak. Mataku juga tidak bisa berkedip melihat semua kejutan besar ini. Bingkisan itu, itu kan bingkisan yang tadi Jimmy bawa-bawa di kantin. Apa mungkin ini semua dari Jimmy?

Setelah kejadian itu, guru-guru yang masuk selalu bertanya padaku 'Kamu bawa apa itu?' 'Itu apa?' 'Jessica ulangtahun?' pertanyaan itu selalu tertuju padaku. Gila, ini gila. Semenjak aku mengenal si Pemacu Jantung itu, duniaku menjadi semakin gila.

Bel tanda pulang berbunyi, aku masih membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja. Sambil aku berpikir, bagaimana caranya aku pulang dengan bingkisan dan bunga-bunga sebanyak ini? "Aaaaaaaaa...." teriakku frustasi. Fany yang masih duduk di sampingku terkejut dengan teriakan yang membahana tadi "Eh? Kamu kenapa sih Jess?" tanyanya bingung.

Aku mengacak rambutku dan menatap bingkisan yang ada di atas meja "Bagaimana aku pulang Fany?" tanyaku padanya, aku sudah cukup bingung memikirkan caraku untuk pulang. Fany hanya tertawa "Kamu kan bisa pulang sama Jimmy, apa perlu aku panggilkan?" katanya meledek. Kenapa harus Jimmy? Kenapa tidak Ken? Fany, kau ternyata menyebalkan juga ya.

30 menit sudah kami hanya duduk terdiam di dalam kelas. Tak lama, aku melihat gadis yang tadi aku tabrak melintas di depan kelasku. Aku melihatnya berlari sambil menangis. Ada apa dengannya? Aku memutuskan untuk mengejar gadis itu, tapi tiba-tiba Fany memanggilku "Jess, mau kemana?" tanyanya. "Aku mau ke toilet sebentar, aku mau buang air kecil Fan." kataku sambil berlari, tidak mendengar ucapan Fany selanjutnya.

Aku berlari mencari gadis itu dan, BINGO! Gadis itu ada di toilet. Aku masuk dan pura-pura tidak tahu kalau ada dia di sana. Aku nyalakan kran air, mencuci tangan sambil melihatnya menangis dari cermin. Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya "K-kamu, kamu kenapa menangis?" tanyaku. Dia terkejut melihat keberadaanku. Dia melihatku sejenak dan akhirnya membalikan tubuhnya bergegas untuk berlari, tapi aku bergerak cepat. Aku menahan tangannya "Kenapa kamu? Aku hanya ingin membantumu. Dari kemarin aku melihatmu murung dan sedih seperti ini. Sebenarnya ada apa? Aku hanya ingin membantu, apa itu tidak boleh?" kataku kesal. Dia menunduk, menangis lagi. Aku semakin yakin kalau dia sedang ada masalah besar saat ini.

Saat ini, kami duduk di taman belakang sekolah, tempat kemarin aku bertemu dengan gadis ini. Aku merangkul pundaknya, berniat untuk menenangkan hatinya yang sekarang sedang kacau.

Aku memulai perbincangan kami "Ceritalah, siapa tau aku bisa membantumu." kataku sambil tersenyum. Aku harap dia mau berbagi denganku. Bukan bermaksud untuk ikut campur, tapi aku hanya ingin membantu.

Dia mulai bercerita tentang apa yang mengganggu pikirannya sekarang "Orang yang aku sayangi, orang yang aku suka sedang sakit. Aku ingin sekali menjenguknya tapi tidak diperbolehkan." katanya sambil terus menunduk. Aku mengeryitkan dahi tanda bingung. Jadi selama ini yang mengganggu pikirannya hanya ini? Oh ayolah! "Sakit? Sakit apa?" tanyaku penasaran.

Dia terdiam, mungkin berpikir apakah harus memberitahukan soal ini atau tidak. Aku segera menginterupsi permintaanku tadi "Emm yasudah kalau kamu tidak mau kasih tau, gapapa kok." kataku, aku takut dia tersinggung. Tapi dia malah memegang tanganku dan memelukku "Kanker paru-paru stadium 4. Aku tidak diperbolehkan pergi ke China untuk menjenguknya. Aku ingin sekali melihat keadaannya, Jessica." katanya sambil menangis.

Oh ayolah gadis cantik, mana boleh kau pergi ke China sendirian "Aku turut berduka. Tapi, kamu mau pergi ke China dengan siapa? China itu jauh, kamu gak bisa pergi sendirian. Itu terlalu berbahaya." kataku menasihatinya.

Dia tetap menangis, tapi sekarang sudah tidak sekeras tangisannya tadi. Aku mengelus lembut punggungnya, mencoba menenangkan dan menguatkannya. Aku tau, saat ini perasaannya sedang sangat sedih, apalagi orang yang sakit itu adalah orang yang dia sayangi "Oke, sekarang kamu tenang. Kamu coba hubungi orang terdekatnya dan tanyakan keadaannya. Sekarang." kataku. Dia segara mengambil ponsel yang ada di saku seragamnya dan menekan tombol-tombol angka untuk menghubungi seseorang disana "Halo, can i speak with Lian? Gui Lian." kudengar dia bicara dengan seseorang disana, serius sekali.

Beberapa menit mereka bicara, tiba-tiba gadis itu berteriak "KOMA? TIDAK MUNGKIN!" katanya histeris. Dia menutup teleponnya dan berlari meninggalkanku. Aku hanya terdiam melihat gadis itu. Sungguh, bolehkan aku ikut menangis sekarang?

Aku duduk terdiam memandangi tanah yang mulai basah karena gerimis. Titik-titik air hujan mulai turun dengan deras dan membasahiku. Aku masih terdiam, tidak bergerak.

Tak lama kemudian aku mendengar langkah kaki menghampiriku. Seseorang itu duduk di sampingku sambil menutupi kepalaku dengan sebuah jaket. Aku menoleh ke arahnya dan kudapati Jimmy di sana. Aku melihatnya tersenyum, entah mengapa senyumnya itu menenangkan sekali.

Dia merangkulku dan berkata "Gerimis, ayo pulang nanti kamu sakit." katanya sambil terus merangkul. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku melihat tangannya terulur dan melihat wajahnya sedang tersenyum menungguku menggenggam tangannya.

Tubuhku mulai kedinginan, aku meraih tangannya dan berdiri. Dia memapahku berjalan menuju kelas. Entahlah, rasa sedih yang gadis itu rasakan sepertinya terbagi denganku.

Tiba-tiba Jimmy menghentikan langkahnya tepat di depanku. Dia menatapku, aku juga menatapnya. Dia melihat wajah sedihku. Tiba-tiba dia memelukku, mengelus rambutku pelan sambil berkata "Jangan sedih begitu, kamu tau gak? Kamu itu lebih cantik dan sangat cantik kalau sedang tersenyum, bukan menangis seperti ini." katanya mencoba menenangkan.

Beberapa menit kami berada dalam posisi ini, itu membuatku tenang. Aku yakin, beginilah yang gadis itu rasakan saat tadi aku memeluknya.

Entah berapa kali kau memberi kejutan padaku hari ini. Terima kasih, aku akan selalu mengingatnya. Kau adalah satu-satunya orang yang mampu melakukan dan memberikan hal-hal indah, kejutan-kejutan indah, serta perasaan yang indah seperti yang aku rasakan saat ini. Tetaplah seperti ini dan jangan berubah...
.
.
.
.
.

to be continue. . .

HURT PART 3

. . . . . . . . . . . .
Sungguh, rasanya aku tak ingin dekat-dekat denganmu kalau seperti ini. Bisa-bisa aku tak berkutik, diam seribu bahasa dan perlahan tak berdaya
.
.
.
.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan membaringkan tubuhku di atas tempat tidurku. Rasanya badanku ini remuk semua. Lelah sekali. Tak sengaja aku melirik hadiah yang diberikan Jimmy tadi. Aku mengambil hadiah itu dan memandanginya beberapa saat. Beberapa pertanyaan muncul di otakku "Apa ya isinya? Apa maksud dia memberikan hadiah ini padaku?" Tak menunggu lama lagi, akhirnya aku membuka bingkisan ini. Aku buka pitanya perlahan lalu membuka bungkusnya perlahan.

Sebuah buku harian dan pulpen berwarna biru yang manis. Tau saja dia kalau aku suka menulis dan curhat menggunakan buku harian.

Mulai sekarang, aku bisa menuliskan semua perasaanku di buku harian lagi. Buku harian lamaku sudah penuh dengan kisah hidupku. Terima kasih atas hadiah berharganya Jimmy, Si Pemacu Jantung :)

Ponselku berbunyi. Kulihat nama di layar ponselku. Itu telpon dari Ken "Hallo." "Hallo kak, ada apa telpon malam-malam?" tanyaku menyelidiki "Tadi kamu pulang sama siapa Jejess?" tanyanya, sepertinya dia khawatir "Aku.... E-emmmm aku pulang sama Jimmy kak. Kenapa?" jawabku ragu-ragu "Sama Jimmy? Oh." ucapnya terdengar pasrah.
.
.
1 detik
.
.
5 detik
.
.
30 detik
.
.
Tak ada yang bicara. Aku diam, tidak berminat bicara. Akhirnya Ken mulai bicara lagi "Maaf ya aku gak bisa antar kamu pulang tadi." katanya pelan, sepertinya merasa bersalah. Aku hanya tertawa cekikikan berharap Ken tidak mendengar tawaku "Ehemmmm gapapa kok kak tenang aja hehe".

Kami terlarut dalam pembicaraan kami sampai-sampai kami tak menyadari waktu menunjukkan pukul 19.30 malam. Aku dan Ken mematikan telepon kami. Dia minta izin untuk belajar dulu dan aku juga. Tugas hari ini sudah tinggal sedikit, aku hanya perlu menyelesaikan yang belum saja. Beruntung, tadi Fany mau mengajariku tugas yang tidak aku mengerti.

                                                                                                                               ***

Sudah larut malam, aku masih menulis tentang kejadian hari ini di buku harian baru pemberian Jimmy tadi. Saat sedang asyik menulis, tiba-tiba ponselku bergetar. Ada SMS yang masuk. Aku lihat layar ponselku dan disana tertera sebuah nomor yang ternyata tak tersimpan di kontak teleponku. Aku buka SMS itu. Isinya...

Kau tau, rasanya saat melihatmu seperti ada sesuatu yang menggelitik. Aku selalu ingin tertawa dan memandangi wajahmu. Hahhh tapi mungkin hanya itu yang bisa kulakukan 'untuk saat ini'

SMS misterius. Aku coba untuk membalas SMS itu..
Siapa ya? Kau tau nomer ponselku darimana?

Aku tunggu balasan dari SMSku itu sambil melanjutkan menulis di buku harianku ini. Tapi, aku mulai mengantuk dan seperti ada yang menggelantung di mataku. Rasanya mataku ini sudah tidak bisa terbuka lagi. Tiba-tiba ponselku bergetar lagi dan itu membuatku kaget dan spontan membuka mata. Itu balasan SMS dari nomer yang tadi. Isinya....
You must not know about that. But, i just want to tell you about something. I like you :*

Dia menyukaiku? Yang benar saja. Siapa sebenarnya dia. Sebenarnya aku sangat tidak suka dibuat penasaran seperti ini apalagi dengan orang yang sama sekali belum aku kenal. Orang ini benar-benar membuatku kesal. Sungguh. Aku memutuskan untuk menelepon nomer ini.
1 kali, tidak diangkat
.
.
.
2 kali, tidak diangkat
.
.
.
5 kali, juga tidak diangkat
Ke 6 kalinya aku menelepon, nomer itu tidak aktif. Sungguh, rasa penasaranku semakin besar. Tapi apa boleh buat, aku tidak bisa terus mencari tahu karena ini sudah hampir larut malam. Aku bisa-bisa dimarahi bunda kalau tidak segera tidur.

Entahlah apa yang membuatku merasa sangat bersemangat hari ini. Aku bangun dengan semangat menggebu dan langsung menuju kamar mandi kemudian bersiap-siap pergi ke sekolah.

Setelah bersiap-siap, aku langsung menuju meja makan dan menyantap sarapanku bersama bunda dan ayahku "Selamat pagi bunda, ayah hihihi" sapaku semangat. Mereka tersenyum dan membalas sapaku itu "Selamat pagi nak, waah semangat sekali pagi ini sepertinya." kata bundaku sambil tersenyum. Aku tersenyum dan meminum susu yang ada di meja "Hehe enggak kok bunda, Sica biasa aja kok." aku masih menampakkan seulas senyum.

Pukul 6, aku sudah keluar rumah dan menunggu Ken datang. Semoga saja hari ini dia tidak terlambat menjemputku. 10 menit kemudian aku melihat sebuah mobil melaju menuju ke arahku. Sepertinya bukan mobil Ken. Aku tidak mengenali mobil ini, tapi sepertinya aku pernah melihat mobil ini. Tiba-tiba mobil itu berhanti tepat di depanku dan membuka kaca mobilnya. Aku tidak melihat siapa yang mengendarai mobil itu.

Aku berdiri memandangi mobil itu beberapa saat sampai akhirnya orang yang mengendarai mobil itu keluar. Ternyata itu Jimmy.

Satu lagi kebiasaanmu, kau selalu memiliki banyak akal untuk memberikan padaku sebuah kejutan besar. Kau tau tidak aku sangat menyukai kejutan, apalagi kejutan itu adalah kejutan yang indah dan tak bisa kulupakan. Kutunggu kejutanmu selanjutnya Jimmy...
.

.

.

.

.

to be continue. . .

HURT PART 2

. . . . . . . . . . . .

Tiba-tiba dia merangkul pundakku dan mendekatkan bibirnya ke telingaku. Ya! Apa yang akan dia lakukan?!

.
.
.
.
.

"Ya Jimmy mau ngapain?" teriak Fany mengagetkan Jimmy dan membuatnya memundurkan kepalanya sedikit.
"Cuma mau bisikin Jessica sih. Emang dikiranya mau ngapain? Nyium?" ucapnya sinis.
"Maaf Jim, jangan marah gitu." kata Fany mengalah.

Detak jantungku masih belum normal. Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Ken melihatku dengan serius. Sepertinya dia merasa aneh dengan tingkahku "Jejes? Kenapa?" tanyanya. Aku terdiam sejenak dan tiba-tiba Jimmy menyenggol lenganku pelan "Eh? Iya? Aku gapapa kok hehe" dustaku.

Setelah selesai makan bersama Fany, Ken, dan Jimmy, aku memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah. Seperti biasa, menyendiri itu menyenangkan. Tapi, aku melihat ada seseorang yang duduk di bangku tempat biasa aku sendirian. Aku menghampirinya dan berdiri sebentar di belakangnya. Aku rasa, aku pernah melihat gadis ini. Ah, ya aku baru ingat. Dia adalah gadis yang tadi makanannya kutumpahkan di kantin. Aku duduk di sampingnya dan melihat ke arahnya. Dia terlihat murung, entah apa yang membuatnya seperti itu.

Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Aku memberanikan diri untuk mengajaknya bicara "Hai.." sapaku sambil menyentuh bahunya. Dia tersentak kaget dan memandangku datar. Ekspresi wajahnya sama seperti yang tadi kulihat di kantin. Aku mencoba untuk mengajaknya bicara "Kamu, lagi apa disini? Ini, tempatku biasa menyendiri. Aku kira hanya aku yang sering kesini." ucapku panjang. Dia diam, tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sampai akhirnya dia membuka mulutnya dan bicara "Kau pikir taman ini hanya milikmu." jawabnya sinis. Sepertinya dia masih kesal padaku karena insiden di kantin tadi. Aku mengerutkan dahi dan mengusap tengkukku "Haha iya ya, taman ini kan punya kita semua, siswa-siswa sekolah ini." jawabku sekenanya. Dia diam lagi. Aku seperti bicara dengan sebuah patung. Memang, tadi dia menjawab perkataanku. Tetapi, tak ada gerakan apapun darinya. Tatapannya kosong, begitu dingin dan menakutkan.

Aku mencoba mengajaknya bicara lagi "Kamu kenapa? Lagi ada masalah ya? Kalau mau cerita, bisa sama aku kok. Kamu kayaknya murung banget daritadi." kataku panjang lebar "Bukan urusanmu."  ucapnya cepat dan dia bangkit dari duduknya, bergegas untuk pergi. Aku tertunduk lesu, aku tidak bisa mencairkan suasana hatinya yang mungkin saja sekarang sedang beku.

Hari sudah sore. Pemandangan sore ini sangat cantik. Langit dihiasi warna jingga kekuningan. Burung-burung banyak yang berterbangan dengan cantik, seperti sedang menari dan menunjukkan pesonanya pada orang-orang yang melihat mereka. Sungguh, sangat amat mempesona.

Aku menyandarkan kepalaku di kursi sambil tanganku memainkan pulpen. Sore ini, aku dan Fany masih berada di sekolah untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Tugas kami sudah selesai dan kamipun memutuskan untuk pulang.

Aku keluar dari kelas diikuti Fany di belakangku. Kami jalan menyusuri koridor sambil berbincang. Tiba-tiba aku melihat seseorang dari kejauhan menghampiriku dan Fany. Itu Jimmy. Tak lama, Jimmy berhenti di depanku. Dia menggandeng tanganku dan menariknya. Aku tersentak dan menarik tangan Fany juga. Jimmy membalikkan badannya dan melihat kami berdua dengan wajah bingung "Fan, ngapain?" katanya sinis. Aku menginjak kaki Jimmy "AW! SAKIT!" teriaknya kesakitan. Aku menatapnya tajam "Emang kenapa kalo Fany ikut? Aku kan tadi mau pulang sama Fany. Kenapa tiba-iba tarik tangan aku?" aku mulai kesal dibuatnya. Kenapa dia berlaku seenaknya begini. Fany melihat kami berdua dengan wajah bingung "Kalian, kenapa malah berantem? Udah sana pulang bareng." katanya sambil mendorongku. Apa? Pulang bersama Jimmy? Oh itu ide buruk kurasa.

Fany akhirnya pulang sendiri naik angkutan umum, dan aku, aku pulang bersama Jimmy. Saat ini aku sudah berada di dalam mobilnya. Jimmy mulai menyalakan mesin mobilnya dan melajukan mobilnya menuju rumahku.

Diperjalanan, aku hanya diam. Aku tak ada minat untuk bicara sendikitpun. Aku sangat lelah dengan hari ini. Rasanya aku ingin memejamkan mataku, tidur. Baru saja aku ingin melakukan itu, tapi tiba-tiba aku tersadar kalau ini masih diperjalanan pulang. Bisa-bisa aku diganggu oleh Jimmy karena ketiduran di mobilnya ini.

Tiba-tiba Jimmy memberhentikan mobilnya. Dia menatapku sambil tersenyum. DEG! Jantungku mulai berdetak tidak normal. Aku memalingkan wajahku ke jendela sambil memegang dadaku. Aku menarik napas panjang untuk menormalkan detak jantungku ini. Tapi, entah mengapa malah semakin menjadi. Kudengar Jimmy bicara "Gimana kalau kita jalan-jalan dulu. Besok hari sabtu kan?" apa dia gila? Ini sudah sore, bisa-bisa aku dimarahi orangtuaku kalau pulang malam. Padahal tadi aku hanya izin pulang agak terlambat. Ya, agak terlambat bukan berarti bisa pulang malam seenaknya.

Entah mengapa setiap bersamamu selalu saja ada masalah dan pertengkaran. Ada rasa aneh didadaku setiap kamu melihat tepat ke mataku. Seperti tadi. Sepertinya aku mulai gila.

"Jalan-jalan dulu? Ini udah jam berapa, nanti aku dimarahi orangtuaku kalau pulang malam. Kamu mau tanggung jawab?" kataku agak sedikit kesal. Dia diam, menatap jalanan yang kosong. Dia menoleh ke arahku "Nanti aku yang ngomong. Gitu aja susah." jawab Jimmy seenaknya. Dia belum pernah melihat bagaimana papaku kalau sudah marah. Tak ambil pusing, akupun keluar dari mobilnya. Dia kaget dan keluar juga dari mobilnya. Dia menarik tanganku dan memutar badanku menghadapnya "Mau kemana?" tanyanya. Kekesalanku semakin menjadi "Mau pulang! Udah ya, udah sore nih nanti dicariin bunda." kataku acuh. Lebih baik tadi aku menyuruh Ken menungguku hingga aku selesai mengerjakan tugas daripada harus pulang bersama Jimmy. 

Akhirnya Jimmy menurutiku. Dia menarikku kembali masuk ke mobilnya dan berjanji mengantarku pulang. Jimmy mulai melajukan mobilnya kembali menuju rumahku. Rasa canggung menyelimuti suasana saat ini. Tak ada satupun yang bicara sampai akhirnya kami sampai di depan rumahku. Dia menghentikan mobilnya dan aku segera pamit. Tapi tiba-tiba dia menahanku "Tunggu... ini..." dia memberikan sesuatu padaku. Bungkusan berwarna coklat, seperti sampul buku namun ada pita di atasnya. Lucu sekali. Aku membolak balik bungkusan itu "Jangan dilihat bungkusnya, lihat isinya. Bungkusnya gak berarti kok. Bisa dibuang." katanya memelas. Mungkin dia pikir aku sedang mentertawakan bungkusan ini. Tapi memang iya "Hahaha iya Jimmy. Makasih." kataku sambil tersenyum. Dia membalas tersenyum sambil menatapku. DEG! Jantungku ini mulai lagi. Kupalingkan wajahku agar detak jantungku normal kembali. Aku membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. Jimmy hanya memandangku dari balik kaca mobilnya, berpamitan dan akhirnya mulai melajukan mobilnya lagi menuju rumahnya.

Tak ada satu jam bersamamu, namun kau sudah berhasil membuat jantungku berdetak tak karuan beberapa kali. Sungguh, rasanya aku tak ingin dekat-dekat denganmu kalau seperti ini. Bisa-bisa aku tak berkutik, diam seribu bahasa dan perlahan tak berdaya.

.
.
.
.
.

to be continue. . .

HURT

Aku... perempuan biasa-biasa saja yang bertemu dengan 2 orang laki-laki dengan karakter yang amat sangat berbeda, laki-laki dingin nan cuek dan laki-laki ramah nan polos. Kehadiran mereka, mengubah hidupku......

.
.
.
.

Kulirik jam di tanganku setiap 5 detik sekali. Dia belum datang juga. Sebenarnya apa yang dia lakukan sampai-sampai dia terlambat menjemputku hari ini.

Pukul 06.00, dia masih juga belum sampai ke tempatku ini. Kesal rasanya menunggu. Aku termaksud orang yang tidak suka menunggu. Jadi, terang saja sedaritadi aku gelisah. Mondar mandi kesana kemari hanya untuk menunggunya.

Tak lama kemudian, terdengar klakson mobil berbunyi. Aku sangat mengenal mobil itu, dan tentu saja pemiliknya. Itu dia, orang yang sedaritadi kutunggu.

Aku mendekati mobil itu dan mengetuk kaca mobilnya. Sang pengendara membuka pintu penumpang dan menyuruhku masuk. Aku sesegera mungkin masuk dan mulai menggerutu tak jelas padanya.
"Selalu begini." ucapku ringan sambil memasang wajah masam.
"Maaf tadi macet. Jangan manyun dong, jelek." jawabnya mencari alasan yang yaaah bisa dibilang sudah basi.
"Halah basi! Gak ada alasan lain selain M.A.C.E.T?" kataku sambil menyilangkan kedua tanganku di dada.
"Duhhhh udah dong jangan marah... yaudah sekarang kita berangkat, nanti terlambat." ucapnya enteng.
"Emang udah T.E.R.L.A.M.B.A.T tuan!" kataku kesal sambil meliriknya sinis.
Beginilah pemandangan sehari-hari kalau dia datang terlambat menjemputku. Kakakku, lebih tepatnya orang yang sudah seperti kakakku sendiri ini adalah supir pribadiku saat aku ingin berangkat ke sekolah. Setidaknya, dia mau mobilnya ditumpangiku setiap harinya.
"Kak, nanti gak usah antar aku pulang ya." kataku sambil sedikit menyimpulkan senyum manisku.
"Loh? Kenapa Jess?" tanyanya heran.
"Aku masih ada kegiatan lain kak, jadi kak Ken gak perlu antar aku pulang. Oke?" jawabku jelas.
"Beneran gak usah diantar? Aku takut kamu kenapa-kenapa di jalan nanti." ucapnya khawatir, atau sok khawatir?
"Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa jaga diri aku sendiri. Oke?" kataku menjelaskan.
"Yasudah." jawabnya singkat.

Mobil Ken mulai melaju cepat menuju sekolahku. Diperjalanan aku hanya diam membaca buku biologiku karena nanti akan ada ulangan di jam pertama. Sesekali ku lirik Ken yang sedang konsen menyetir. Terlihat Ken sepertinya sedang kesal karena sedaritadi aku melihat wajahnya begitu masam. Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
"Kak... kak Ken kenapa sih kok kayanya lagi kesel begitu?" tanyaku perlahan, takut dia akan marah.
"Aku? Kesel? Enggak kok, cuma lagi bingung aja." jawabnya sambil memegang keningnya.
"Bingung? Bingung kenapa? Cerita aja sama Jessica kak." ucapku sambil mengelus pelan pundaknya.
"Kamu........ ah emmmm gak jadi deh Jess...." jawabnya menggantung dan membuatku semakin penasaran.
"Ya ampun kak masih gak mau cerita juga? Sica ngambek nih!" aku merajuk agar Ken mau menceritakan masalahnya padaku.
"Yah ampun kamu kebiasaan deh. Jangan ngambek begitu, nanti aku cubit pipinya. Mau?" Ken meledekku dan membuatku bergidik ngeri.
"Oke oke oke jangan cubit pipi aku lah! Tapi, nanti harus cerita, oke?" jawabku pasrah karena aku tidak mau pipi imutku ini menjadi kemerahan dibuatnya.
"Iya cantik." seperti biasa, dia mulai memujiku. Biasanya kalau sudah begini, pasti ada maunya.
"Ya ya ya sudahlah..." aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya dan mulai melanjutkan membaca buku biologiku yang sangat tebal ini.

15 menit kemudian kami sampai di sekolah. Ken memarkirkan mobilnya di samping mobil berwarna biru yang pemiliknya juga baru keluar dari mobil itu. Jimmy langsung menghampiri kami berdua setelah dia keluar dari mobilnya. Jimmy adalah sahabat Ken dan setauku mereka sudah bersahabat sejak lama. Sebenarnya aku tidak begitu mengenal Jimmy karena akupun baru bertemu dengannya 2 hari yang lalu. Tak lama setelah Jimmy menyapa Ken, Jimmy memandangku dan menyapaku.
"Eh, hai Jessica." sapanya sambil tersenyum.
"Eh, hai juga. Emmmmm aku sepertinya harus segera masuk kelas, ada ulangan di jam pertama hari ini. Bye." jawabku sambil melambai-lambaikan tanganku ke arah mereka berdua.
"Bye....." sahut mereka berbarengan. Entah mengapa terlihat ekspresi kekecewaan di wajah Jimmy.

Bel masuk pun berbunyi, aku mulai berdoa untuk memulai ulangan biologiku hari ini. Aku takut kalau nanti aku tidak bisa mengerjakan soal-soal itu. Aku melihat Fany, sahabatku baru datang dan langsung duduk di sebelahku. Terlihat ekspresi wajah gugup darinya, sepertinya dia juga takut dengan ulangan kami hari ini. Entah mengapa sepertinya murid-murid disini takut akan ulangan hari ini. Tapi, apa yang perlu ditakutkan? Mungkin kami hanya takut dengan gurunya, bukan soal-soal ulangannya. Aku bercerita kepada Ken kalau aku sangat takut untuk menghadapi ulanganku hari ini, dan respon yang dia berikan hanya TERTAWA. Ya, TERTAWA. Dia bilang, buat apa takut dengan ulangan biologi. Itu pasti karena gurunya, bukan karena soalnya. Dia bilang, "Kertas soal ulangan tak akan bisa melahapmu hidup-hidup adikku sayang". Sepertinya perkataan Ken ada benarnya juga.

Bel jam pertama dimulai. Semua perhatian siswa tertuju pada guru biologi yang baru masuk itu. Untuk mengurangi rasa gugupku, aku mencoba mengajak Fany bicara.
"Fany, udah belajar kan? Hehehe..." ucapku sambil menyenggol lengan Fany.
"Ah ya, udah kok Sica. Kamu?" tanyanya padaku sambil memegang tanganku erat, sangat erat.
"Uuudah... Kkk.... kamu ngapain pegang-pegang tanganku begini?" tanyaku heran. Tangannya dingin sekali. Mungkin pengaruh AC di ruangan ini.
"Aaaku agak gugup nih Sica, takut gak bisa jawab soal-soalnya." jawabnya singkat.
"Ah udah relax aja, kita pasti bisa. Berdoa dulu sebelum ngerjain." saranku padanya.
Waktu ulangan telah dimulai. Kulihat Fany mengaitkan jari-jari lentiknya tanda berdoa. Aku juga demikian. Ulangan dimulai dengan suasana kelas yang sepi dan sunyi.

Pelajaran biologi telah usai, itu artinya ulanganpun telah usai. Kulihat wajah Fany yang terlihat senang saat ini. Aku mencoba bertanya padanya.
"Fany, kenapa?" tanyaku terheran karena perubahan sikapnya yang begitu drastis.
"Ahahaha ternyata soalnya gak susah, aku lancar ngerjainnya tadi. Kamu gimana?" jelasnya padaku.
"Lanca kok, lancar banget hahaha ternyata gak sesulit yang aku bayangin sebelum ulangan tadi." jawabku sambil menunjukkan seulas senyum padanya.
"Jelas nih sekarang, kita takut sama gurunya bukan sama soalnya..." katanya riang sambil menepuk pundakku pelan.
"Hahahaha..." tawa kami berbarengan.

Bel istirahat berbunyi. Aku segera menarik Fany ke kantin. Aku lapar, aku butuh makan untuk membuat konsentrasiku bertambah. Tiba-tiba aku tak sengaja menabrak seseorang.
BUK!
Itu Jimmy. Kepalaku pusing, seperti habis kejatuhan benda cukup berat padahal aku hanya tertabrak Jimmy. Terang saja, tubuhnya agak berotot dan agak besar. Setara dengan cowok-cowok tampan yang suka gym. Hampir saja aku terjatuh karena kepalaku yang pusing ini, tapi Fany sigap memegangiku. Kulihat Jimmy menatapku dari atas sampai bawah. Seperti ada sesuatu yang aneh padaku. Dia memegang pipi kananku dan menatap mataku dalam-dalam. Apa yang akan dia lakukan? Jantungku berdegub cepat sekali. Tapi tak lama kemudian, Ken menepis tangannya yang memegang pipiku. Lalu Ken menyuruhku bersembunyi di belakang tubuhnya. Ayolah Ken apa yang kau lakukan!? Jimmy mengerutkan keningnya tanda bingung "Kau ini kenapa Ken?" tanya Jimmy heran. Ya, sikap Ken begitu tidak biasa "Gapapa. Jangan pegang-pegang. Mahal!" jawabnya lantang. Apa maksudnya? Dasar cowok aneh "Kak Ken apa sih?" tanyaku kesal dan kembali melangkah ke depan, berdiri diantara Ken dan Jimmy. Ken dan Jimmy sama-sama menatapku. Ngeri. Mereka seperti singa yang baru mendapat mangsa. Tak mau berlama-lama disini, aku langsung menarik tangan Fany dan berlari menuju kantin.

Di kantin aku melihat berbagai macam makanan enak. Aku mulai menyambahinya satu persatu. Aku membeli banyak makanan dan berniat untuk membaginya pada Fany. Fany tidak ikut memesan makanan. Kusuruh dia duduk manis menungguku datang dengan berbagai makanan-makanan enak ini. Aku masih mencari makanan apalagi yang akan aku beli. Tiba-tiba... BUK! Aku menabrak seseorang lagi. Kali ini dia perempuan. Kulihat dia jatuh dan makanannya tumpah. Kubantu dia berdiri dan membersihkan makanannya yang tumpah "Maafkan aku, aku tidak melihatmu. Maafkan aku." kataku memohon sambil terus membersihkan makanannya. Kulihat wajahnya, dia tidak menunjukkan ekspresi marah atau apa, hanya datar "Maaf.... aku minta maaf." kataku panik. Kupikir dia marah padaku, ternyata tidak "Udah gapapa kok. Aku bisa beli lagi nanti." katanya datar tanpa ekspresi. Aneh sekali dia. Aku mencoba menyentuhnya, namun dia sesegera mungkin pergi dari hadapanku. Entah mengapa, tapi sepertinya dia memang marah padaku.

Aku selesai membeli makanan dan memutuskan untuk kembali ke meja dimana Fany menungguku. Kulihat Fany yang sedang duduk sambil mendengarkan musik melalui iPhonenya. Dia menoleh padaku dan langsung berdiri, membantuku membawa makanan-makanan ini "Banyak banget Sica, mau pesta? Hahahaha." tanyanya meledek. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Fany tadi. Aku masih memikirkan perempuan yang tadi kutabrak. Aku langsung duduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Fany melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku "Helloooo Sica! Kamu kenapa sih?" tanyanya. Aku langsung sadar dari lamunanku dan mengerjapkan mataku "Ah, ya? Aku gapapa hehehe." jawabku singkat disertai tawa garing. Aku menyuruhnya untuk makan dan melupakan lamunanku tadi "Makan yuk, aku udah laper banget hehe." ucapku berbohong. Tak lama, aku melihat Ken dan Jimmy dari kejauhan dan sepertinya mereka akan menghampiri kami disini.

Dugaanku benar. Ken dan Jimmy datang dan langsung duduk di kanan dan kiriku. Aku heran, apa sebenarnya yang sedaritadi mereka rencanakan. Aku menatap mereka berdua bergantian "Apa yang kalian lakukan? Duduknya jangan begini. Tuh disamping Fany kosong. Sana ah!" kataku sambil mendorong pundak mereka berdua. Wajah mereka berubah masam, dan akhirnya Ken mengalah. Dia duduk di samping Fany. Jimmy, dia tersenyum penuh kemenangan. Tiba-tiba dia merangkul pundakku dan mendekatkan bibirnya ke telingaku. Ya! Apa yang akan dia lakukan?!

.
.
.
.
.

to be continue. . .

Senin, 09 Juli 2012

Is It Love or Like? PART 5

. . . . . . . . . . .

"Panda mencarimu...."
Apa? Billy mencariku? Apakah dia ingin hatiku hancur karena ditinggal pergi lagi dengan sahabatnya? Aku tak menjawab perkataan Joe tadi. Aku cukup waras untuk tidak datang ke bandara melepas kepergian Billy, sahabatku yang 'mungkin' tak akan pernah kutemui lagi. Aku tidak mau menangis di bandara itu. Aku tidak mau orang-orang melihatku menangisi kepergian sahabatku itu -untuk yang kedua kalinya-. Aku menutup teleponku yang masih tersambung dengan Joe. Lalu aku mulai membaringkan tubuhku di tempat tidurku dan mulai memejamkan mataku untuk tidur lagi. Hari ini hari Sabtu, tapi rasanya aku tak punya semangat untuk menikmati weekendku ini.

Pukul 09.00, aku terbangun saat ibuku mengguncangkan tubuhku pelan dan memaksaku untuk bangun. Aku mengerjapkan mataku, membiasakan cahaya matahari yang masuk ke mataku. Ibuku tersenyum sambil memberikan sebuah kotak berpita biru muda yang manis. Aku menatap bingung tepat ke hadiah yang ada ditangan ibuku itu. Siapa yang memberi hadiah semanis ini. Tapi aku masih belum tau apa isi kotak berpita biru muda itu. Tanpa aba-aba, aku mengambil hadiah itu dan menaruhnya di atas pangkuanku.
"Bu, dari siapa?" tanyaku bingung menatap ibuku.
"Eeemmmm..... buka aja. Mungkin disana ada nama pengirimnya." jawab ibuku santai. Aku tau, pasti ibu tau siapa yang memberikan hadiah ini.
"Ibu nih, sok misterius banget." kataku sambil membuka hadiah itu perlahan.

Apa ini? Fotoku dan Billy waktu kecil, lollypop, pita kecil berwarna biru muda, jepitan berwarna biru muda bermotif bintang-bintang dan juga ada secarik kertas berwarna biru muda yang berisikan kalimat bertinta hitam....

Hey kau kelinci kecil......
ini untukmu. Jangan coba-coba menolaknya. Jangan kembalikan.
Barang-barang ini adalah barang-barang berhargaku yang ingin kuberikan padamu
saat ulang tahunmu yang ke 5 tahun.
Ingat tidak, waktu itu aku harus segera ikut orangtuaku.
Aku tidak sempat memberikan semua ini padamu waktu itu.
Dan akhirnya aku memutuskan untuk memberikannya sekarang.
Maaf hanya ini yang bisa kuberikan.
Maaf aku tidak bisa menemanimu.
Maaf aku harus kembali meninggalkanmu.
Jangan sedih, masih ada Joe dan Aldo yang akan menemanimu.
Aku pergi ya.
Sampai jumpa....
atau lebih tepatnya,
Selamat tinggal.
Panda tembam sayang Kelinci kecil.

P.S : jangan lupa pakai jepitan dan pitanya ya kalau kamu sekolah, supaya cowo-cowo di sekolah terpesona melihatmu.

BILLY as PANDA TEMBAM

Tangisku pecah memenui kamarku. Ibuku memelukku erat dan mengelus lembut rambutku. Rasa sayang yang sangat besar bisa kurasakan dari pelukan ibuku ini. Aku membenamkan wajahku ke pelukan ibuku dan menangis semakin keras.
"Apa Panda akan benar-benar gak kembali bu?" tanyaku disela-sela tangisku. Ibuku terdiam sejenak dan menggeleng pelan, "Ibu enggak tau, semoga saja enggak ya sayang." ibuku kembali memelukku.

Billy, jangan pernah lupakan aku walaupun kamu sudah tinggal disana. Aku akan menunggu kabar darimu. Aku akan selalu menunggu kabar gembira dari sahabatku ini kalau dia sudah sembuh dan akan segera kembali ke Indonesia. Semangat ya Panda, Kelinci kecilmu ini tidak akan menangis. Aku janji.

SATU BULAN KEMUDIAN, HARI SABTU pukul 07.30

Seperti biasa, weekendku selalu diawali dengan jogging. Hari ini aku jogging sendiri karena kak Tom katanya malas untuk jogging. Dia masih sayang-sayangan dengan bantal, guling, dan kasurnya. Baiklah mari kita tinggalkan kakakku yang tukang tidur itu.

Aku berlari mengelilingi komplek rumahku sambil sesekali menghirup udara pagi yang masih segar ini. Tiba-tiba aku mendengar langkah seseorang yang semakin cepat menghampiriku. Semakin cepat dan semakin dekat. Tak lama orang itu menepuk punggungku.
"DOR! HAHAHAHA PASTI KAGET KAAAAN?" katanya puas. Aku terlonjak kaget dan tak sengaja menginjak sesuatu.
"HAHAHAHAHAHAH LALA NGINJEK APAAN TUH!" tawa puasnya terdengar lagi. Sial sekali aku pagi ini, sepatu yang baru kucuci kemarin sudah terkena kotoran kucing. Ini semua gara-gara JOE!

Ah iya, Joe akhir-akhir ini selalu bersamaku, entah itu pergi ke sekolah, pulang sekolah, jalan-jalan, belajar dan juga jogging seperti ini. Aku akui, kehadiran Joe bisa menggantikan posisi Billy. Oh iya aku lupa, aku kan tidak mau mengungkit-ungkit tentang Billy lagi. Bukannya benci atau marah, tapi karena aku tidak mau menangis gara-gara mengingatnya.

Aku kembali berlari setelah membersihkan sepatuku menggunakan daun yang jatuh dar ranting pohon. Aku bermaksud untuk berlari pulang, tetapi Joe menarik tanganku dan menghadangku untuk berlari lagi.
"Mau kemana? kamu marah?" tanyanya polos. Aku rasa dia tidak punya rasa bersalah sedikitpun.
"............." aku diam dan membuang muka. Aku berniat untuk mulai berlari tapi Joe menahanku. "Mau kemana sih La?" tanyanya lagi. Dia sangat amat tidak peka ternyata.
"Mau pulang." jawabku santai dan mulai melangkahkan kakiku perlahan. "Pulang? ini masih jam berapa, masa kamu mau pulang. Gak asik nih. Ayo lari lagi." ajaknya halus. Tapi aku sudah terlanjur marah dengannya.
"Capek, mau pulang." jawabku lagi dengan nada sedikit dingin. Aku mulai geram dengan sikapnya saat ini. "Yaaaah beneran nih marah? yaudah kalo gamau iniiiii......" katanya meledek sambil menggantung-gantungkan sebatang coklat. Ah, coklat! Sial, dia selalu tau apa yang membuat emosiku mencair.

Aku mendekat dan memasang senyum memohon. Aku mencoba mengambil coklat itu, tetapi Joe malah mengangkat coklat itu tinggi-tinggi dan membuatku tidak sampai untuk mengambilnya.
"Joee mauuuuu aaahhh turuniinnn!!!" perintahku sedikit merengek. Yah biasanya cara ini bisa meluluhkannya.
"Gak mau. Kejar aku duluuuuuuuuuuuuuu!!!!!!!" katanya sambil berlari kencang meninggalkanku. Aku menyusulnya dengan berlari dengan tidak kalah cepat juga. Kami kejar-kejaran sampai akhirnya kami sampai di depan rumah Joe.

Gerbang rumah Joe terbuka lebar dan terlihat banyak orang. Ada apa itu.
"Waduh, kayaknya tadi gerbang udah aku kunci deh." ucapnya dengan kepala sedikit dimiringkan.
"Banyak orang Joe. Siapa?" tanyaku sambil menatap kearah kerumunan orang-orang di rumah Joe.
"Itu saudara-saudara aku deh kayaknya. Masuk aja yuk." ajaknya dan langsung menarik tanganku untuk masuk.
Kami berdua memasuki rumah itu dan mata kami langsung tertuju pada peti besar disudut ruang keluarga. Jangan. Jangan berpikir yang tidak-tidak.

Tak lama, seorang wanita paruh banya menghampiri kami berdua. Itu ibunya Billy dan Joe. Tiba-tiba beliau memeluk Joe dan mulai menangis.
"Ma? Mama kenapa ma?" tanya Joe sambil mengelus lembut punggung ibunya. Tangisan beliau semakin menjadi-jadi setelah Joe bertanya seperti itu. Tak lama seseorang menghampiri kami, itu Aldo.
"Lala...." ucapnya lirih sambil merangkulku. Tak lama rangkulannya berubah menjadi sebuah pelukan. Apa maksud semua ini? Aku masih tidak mengerti.
"Apa? Kenapa?" tanyaku polos. Aku berusaha tidak berpikir yang aneh-aneh.
"Billy...... dia......" ucapannya terpotong. Aldo menangis. Baru kali ini aku melihat Aldo menangis.
"Kenapa? Dia di Inggris kan? Hahahaha kenapa kangen sampai-sampai kakak nangis begitu? Cengeng, aku aja gak nangis yeee...." ucapku riang, tapi aku merasakan sesuatu yang mulai sakit di dalam dadaku.
"Ikut aku...." ucapnya sambil menarik tanganku mendekati peti yang ada di sudut ruang keluarga itu.

Aku berdiri mematung melihat isi peti yang terbuka itu. Seseorang sedang tertidur pulas, sangat amat pulas. Seseorang sedang memejamkan matanya sambil sedikit menunjukkan senyumnya entah sampai kapan. Seseorang sedang merasa bahagia memasuki kehidupan barunya di tempat lain. Seseorang yang sudah melewati hidupnya yang cukup singkat dengan banyak kenangan indah dan sedih serta menyakitkan yang dia alami. Seseorang yang dulu selalu bermain denganku dan tertawa serta menangis bersama denganku. Seseorang yang satu bulan yang lalu memberikan bunga mawar merah yang sangat indah untukku. Seseorang yang ingin aku selalu memakai jepitan dan pita yang diberikannya saat aku ke sekolah. Seseorang yang 10 tahun lalu pergi meninggalkanku dan kembali meninggalkanku satu bulan yang lalu.

Lututku melemas, pandanganku kabur karena air mata. Aku pasti salah lihat. Ini tidak mungkin Billy, Panda tembamku. Aku menghampiri peti itu dan berlutut di sampingnya. Ini benar dia, Billy. Aku menangis sejadi-jadinya sambil mencengkram erat sisi peti itu.
"Panda, kenapa tinggalin kelinci kecil sendirian? kelinci takut sendirian panda. Panda, bangun panda..." ucapku lirih mengeluarkan suara serak yang gemetar karena tak kuat menahan kesedihan yang teramat sangat.
".............." tak ada jawaban apapun darinya. Aku masih berharap dia bangun dan memelukku sambil berkata 'Aku disini kelinci kecil, aku bersamamu' tapi aku rasa itu semua hanya mimpiku, mimpiku yang tak akan pernah terwujud.

Tak lama, aku merasa seseorang memelukku dari belakang. Itu Joe.
"Lala... udah..." katanya pelan dan membawaku menjauh dari peti itu. Aku masih belum bisa menghentikan tangisku. Kudengar tangisku terdengar memilukan, membuat yang mendengarnya juga bisa ikut menangis.
"BILLYYYYYYYYYYYYYYYYY....................." teriakku keras, membuat semua orang yang ada disana menoleh kasihan ke arahku. Sungguh, rasanya aku ingin berteriak lebih keras daripada ini.
Joe memelukku erat sambil terus menenangkanku. Aku merasa tenang saat ini, walaupun aku masih menangis. Bajunya basah karena air mataku. Aku terus menangis sambil meremas baju Joe hingga terlihat agak kusut. Dia membiarkanku melakukan itu.
"Lala....... udah ya La...." ucapnya pelan sambil mengelus lembut rambutku.
"............." aku terdiam dalam tangisku yang tertahan. Aku sudah berhenti menangis, iya, dari luarnya aku memang terlihat tidak menangis saat ini, tapi hatikulah yang menangis.
"Lala......" ucapnya lagi. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Biarkan aku diam sejenak, melepaskan rasa sedihku yang berkecamuk ini.

SKIP TIME
.
.
.
.
.
.
.

Prosesi pemakaman Billy sudah selesai. Sangat amat mengharukan. Ibu Billy menangis histeris saat tadi peti yang berisi jasad Billy dimasukkan ke liang kubur. Aku juga melakukan hal sama dengan beliau, tapi tidak begitu histeris. Dan sekarang, aku masih berdiri di samping gundukan tanah yang di dalamnya terdapat jasad kaku milik Billy. Sendirian. Aku mulai menangis untuk yang kesekian kalinya. Aku mengeluarkan secarik kertas yang ada disaku bajuku dan mulai membacanya....

Hai Kelinci kecil. Sedang apa? Ah aku tau, kau pasti sedang memelukku kan?
Hahaha maaf ya aku percaya diri sekali dengan hal itu.
Oiya, kalau kau sudah membaca surat ini berarti aku sudah pergi ya.
Eh Kelinci kecil, aku pamit ya. Aku mau pergi. Boleh kan?
Aku mau lihat kamu tersenyum dari atas sini. Aku mohon, hanya senyum kamu
yang bisa membuatku tenang meninggalkanmu dan orang-orang yang menyayangiku.
Ingat ya, walaupun aku sudah tidak disampingmu lagi, tapi aku masih ada di hatimu.
Menemanimu disana sampai nanti kita bertemu lagi di tempat yang indah ini.
Tempat yang sudah Tuhan siapkan untuk kita bertemu lagi. Oke?
Baiklah kelinci kecil yang manis, aku pergi dulu ya.
Jaga dirimu baik-baik. Jangan menangis kalau kau jatuh,
jangan menangis kalau mainanmu diinjak kak Tom.
Biarkan saja, nanti aku yang balas dia kalau dia melakukan itu.
Hehehehe......
Sampai jumpa Kelinci kecilku.

PS : hapus air matamu, nanti Joe akan kabur kalau dia melihat wajah jelekmu yang sedang menangis :D Smile :)

Kertas itu basah karena tetesan air mataku. Aku meremas kertas itu dan mulai menjatuhkan diriku di samping makam itu.

Tak lama, terdengar langkah kaki menghampiriki. Pelan, sangat pelan. Aku merasa langkah itu berhenti di belakangku. Aku menoleh dan melihat sosok Joe disana.
"............." aku diam, aku lihat dia tersenyum ke arahku.
"Kamu udah baca suratnya?" tanyanya sambil tersenyum kecil. Disaat seperti ini saja, dia masih bisa tersenyum. Sungguh, dia tidak waras.
"Udah, kenapa?" tanyaku lirih. "Tau gak, aku sebentar lagi akan kabur ngeliat mukamu yang kusut itu. Udah kenapa sih nangisnya. Jelek!" ucapnya meledek sambil memencet hidungku. Apa dia tidak tau kalau aku tidak suka kalau dipencet hidungnya? Menyebalkan.
"Jangan pencet-pencet hidung aku. Sakit tau!" ucapku sambil menyingkirkan tangannya yang masih memencet hidungku. Aku yakin, sekarang hidungku ini terlihat merah seperti tomat yang baru matang.
"Hahahaha liat tuh hidungnya merah hahahaha lucu banget..." tawanya puas. Oh, aku pikir dia sudah gila.
"Sakit tau!" ucapku dingin dan memukul bahunya keras. Dia meringis kesakitan karena memang aku sengaja memukul bahunya itu dengan keras.

Beberapa lama kami terdiam, tak ada yang bicara.
"Aku sayang sama kelinci." Joe mengucapkan sebuah kalimat yang mungkin tidak kumengerti.
"..........." aku masih diam sambil mencerna apa sebenarnya maksud kalimat barusan.
"Heh! aku sayang kelinci!" ucapnya mengejutkanku. Apa sih maksud orang gila ini."Apaan sih?" tanyaku dingin. Aku semakin kesal dibuatnya.
"AKU SAYANG KELINCI DASAR KELINCI BODOH!" ucapnya keras sambil berdiri. Apa yang dia katakan? BODOH? dia pikir aku bodoh? dia yang bodoh.
"Masih tidak mengerti hah? dasar kelinci bodoh?" ucapnya ketus. Oh, rasanya dia ingin merasakan tamparaku ya.
"Apa maksudmu bodoh?" ucapku menantang sambil berkacak pinggang.
Tiba-tiba Joe memelukku erat dan berbisik, "Kau ini pura-pura bodoh atau memang bodoh hah?" berani-beraninya dia begitu. Aku mendorongnya dan berkacak pinggang sambil menjawab pertanyaannya, "AKU BODOH! PUAS TUAN BATU ES?" jawabku ketus sambil menampilkan senyum pahit.
"HA? TUAN BATU ES? APA-APAAN SIH INI KELINCI BODOH? OKE DEH. TAU GAK SIH SI TUAN BATU ES INI MENYANYANGI KELINCI KECIL YANG BODOH? APA PERLU KUTULIS DI SPANDUK BESAR?" ucapnya sambil sedikit membentak. Aku kaget dan mulai terdiam.
"MASIH BELOM NGERTI JUGA? SEPERTINYA KAU MEMANG BODOH." baiklah, kami sudah seperti orang gila yang sedang bertengkar di depan makam seseorang.

Dengan tiba-tiba, dan tanpa aba-aba apapun dan dari siapapun, Joe memelukku erat.
"Aku sayang sama kamu. Ngerti kan?" ucapnya pelan disela pelukan kami.
"Emmmm...... kamu sayang sama orang bodoh? kamu yakin? apa jangan-jangan kau juga bodoh?" tanyaku meledek. Kurasakan dia sedang tertawa kecil mendengar pertanyaanku itu.
"Iya, aku memang bodoh sudah menyayangi orang bodoh sepertimu..." jawabnya sambil melepas pelukan kami.
"Hahahahaha dasar bodo." tawa kami memecah keheningan di pemakaman ini.

Hei Panda tembam, lihat aku tidak menangis kan? Hahaha adikmu selalu tau bagaimana caranya membuatku tertawa lagi seperti ini. Dia selalu mampu membuatku tersenyum disela-sela kesedihanku. Ah, jangan khawatir ya Panda, Joe pasti menjagaku dengan baik hihihi.....

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Aku bodoh! Aldo, kau bodoh sekali. Ini yang ditakutkan, Lala sudah berpacaran dengan Joe dan kau hanya bisa melihat mereka tertawa seperti itu. Ya, hanya bisa melihat tawa mereka dibalik pohoh ini. Baiklah, ini sudah resikonya kau tidak mengatakan perasaanmu yang sebenanya sejak awal pada gadis itu. Lupakan dia Aldo, walaupun kau tidak bisa melupakannya.

Baiklah, aku pergi. Berbahagialah kalian. Billy, lihat mereka. Sepertinya mereka bahagia. Aku tidak akan merusak kebahagiaan mereka. Ah ya, aku akan terus mengawasi mereka. Jangan takut, mereka aman ditanganku hahaha......

3 TAHUN KEMUDIAN

3 tahun sudah Billy meninggal. 3 tahun sudah juga aku menjadi orang terdekat bagi Joe, adik Billy. Aku bahagia dengan apa yang kumiliki sekarang. Orangtua yang menyayangiku, sahabat-sahabat yang menerimaku apa adanya, dan orang yang kusayang. Tunggu, dia sedang menatapku tajam. Apa maksudnya?
"Jaga dirimu baik-baik ya Kelinci! Jangan lupakan pacarmu ini. Mengerti?" ucapnya dingin.
"Iyaaaaaaaa tuan batu es." ucapku lembut sambil menyunggingkan senyum.
"Masih aja berantem ya mereka berdua." ucap Sita sambil melirik Aldo. Sejak kapan mereka datang. Ah sudah lupakan. Aldo hanya menggeleng melihat tingkah kami berdua.
"Sita. Udah deh jangan ngeledek hahaha...." kataku sambil sedikit terkikik geli melihat tingkah kami semua.
Hari ini, hari keberangkatanku ke Jepang, melanjutkan pendidikanku disana selama 4 tahun. Ya, waktu yang cukup lama. Tapi kata Joe, dia berjanji akan menungguku pulang. Ah, aku tak yakin dia akan setia menungguku. Tapi, sebaiknya aku tidak berpikir begitu, karena aku tau Joe hanya menyayangiku hehehe....

THE END