Powered By Blogger

Kamis, 28 Juni 2012

Is It Love or Like? PART 4

. . . . . . . . . . .

Astaga! apa yang dia lakukan. Wajahnya semakin dekat, dekat, dekat dan...
"Poninya menghalangi aja sih!" ucapnya sambil menyingkirkan poniku yang menutupi wajahku karena tertiup angin yang cukup kencang sore ini. Aku kira dia akan melakukkan hal yang tidak-tidak padaku. Haruskah aku membersihkan diriku dari pikiran-pikiran kotor?
"Hahaha..... tau nih angin ribet." ucapku canggung. Aku terdiam merutuki diriku yang bodoh ini. Aku menoleh ke kiri dan kulihat Billy yang sedang berdiri merentangkan tangannya lebar-lebar untuk merasakan hembusan angin yang menerpa lembut wajah tampannya itu. Entah sejak kapan dia melakukkan itu. Aku hanya bisa terdiam memandanginya yang sepertinya sangat senang berada disini. Aku mulai mendekat dan memecah konsentrasinya yang sedang merasakan kesejukan sore ini.
"Udah mulai sore, anginnya semakin kencang aja. Sebaiknya kita pulang kak." kataku sambil mensejajarkan posisi berdiriku dengannya.
"Heemmmhhh 5 menit lagi ya. Aku gak tau berapa lama lagi aku bisa rasain ini." kali ini kalimatnya mengingatkanku pada percakapannya dengan Aldo waktu itu....

"Bill, lo udah gapapa kan? Apa perlu gue anter pulang? Muka lo pucet banget."  sepertinya itu suara Aldo.
"Ah, udah gapapa kok Do. Gausah sampe kayak gitu, sekolah lebih penting. Oiya Do, tau kan 3 minggu lagi gue bakal ke Inggris buat jalanin pengobatan di sana?" ucap Billy lirih. Ucapannya terlalu panjang, tapi tidak didukung dengan keadaannya. Sepertinya.
"Iya tau Bill, kenapa?" jawab sekaligus tanya Aldo sekenanya.
"Gue titip Lala, anak baru itu ya."

....menusuk, sangat menusuk. Sepertinya dia memang harus segera pergi. Aku memulai percakapan kami lagi setelah aku terdiam beberapa saat.
"Pasti kakak akan terus rasain sejuknya sore hari kayak gini kok, percaya deh." ucapku sambil mengelus punggungnnya pelan. Tubuhnya terasa dingin, aku mulai takut dengan keadaannya yang seperti ini.
"Hahaha...." dia hanya tertawa. Suara tawanya terdengar memilukan. Entah mengapa sepertinya aku segera menangis sekarang.
"Kak, kita pulang yuk udah sore banget nih." kataku khawatir. Dia hanya menggeleng mantap sambil tetap berdiri tegap merasakan hebusan angin. Aku masih mengelus pelan punggungnya dan aku mulai menatap wajahnya. Astaga, wajahnya pucat. Kekhawatiranku akan dirinya semakin menjadi-jadi. Aku merasakan dirinya mulai kehilangan keseimbangan dan akhirnya....
BRUK!
Dia pingsan, dan disini hanya ada aku dan dia. Apa yang harus aku perbuat. Ya Tuhan tolong aku! Tiba-tiba aku mendengar derap kaki menghampiriku. Semakin cepat dan semakin dekat. Aku menoleh ke belakang dan kulihat Aldo berlari menghampiri aku dan Billy.
"Billy kenapa? ayo kita bawa dia pulang." tanyanya dengan nada suara yang cukup tenang. Sepertinya dia sudah terbiasa melihat Billy seperti ini.
"Enggak tau kak, tadi aku sama dia lagi menikmati suasana taman tapi tiba-tiba dia pingsan. Yaudah kak ayo kita bawa dia pulang. Aku takut dia kenapa-kenapa." jawabku panjang lebar. Suaraku bergetar menahan tangis yang masih bisa kutahan.
"Yaudah ayo." ucapnya singkat. Raut wajahnya berubah dingin sesaat setelah aku mengatakan kalau aku khawatir dengan keadaan Billy saat ini. Ada apa dengannya?

Beberapa saat kemudian, kami sampai di rumah Billy. Waaaaaaaah rumahnya besar, lebih besar daripada rumahku. Ah, bukan saatnya memuji rumahnya. Aldo yang sedaritadi menggendong Billy mengajakku masuk.
"Ayo masuk, jangan bengong aja." ucapnya dingin. Aku langsung tersadar dari lamunanku. Aku langsung masuk mengikuti Aldo dari belakang. Terdengar Aldo meneriakkan sebuah nama saat dia telah sampai di depan pintu.
"Joee....... Joee........" siapa? Joe? apakah?
"Ada apa? tunggu sebentar." ucap seseorang yang dipanggil Joe itu. Aldo menidurkan Billy di sofa sedangkan aku masih terdiam menatap ke arah tangga, menunggu siapa yang akan turun. Tak lama, seseorang menuruni tangga. Orang itu turun sambil menunduk. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Saat dia sudah sampai di bawah, dia memperlihatkan wajahnya dan ternyata itu...
"Joe?" "Lala?" ucap kami serentak. Kami sama-sama kaget melihat satu sama lain. Joe? Kenapa dia ada di rumah Billy? Apa sebenarnya hubungan antara Joe dan Billy?
"Kamu ngapain disini?" tanya kami serentak lagi. Aduh, berilah kesempatan untukku bertanya duluan Joe.
"Ini rumah aku, ya aku disini. Kamu yang ngapain kesini?" jawabnya duluan. Ini rumahnya? Berarti?
"A...aa...aaa...kkuu... aaa..aaakkuuuu... nganterin kak Billy. Ini? ini rumah kamu?" jawabku gugup. Bodohnya aku malah bertanya apa yang tadi sudah Joe katakan.
"Iya ini rumah aku. Kak Billy kenapa kak?" jawabnya padaku dan langsung memalingkan pandangannya ke arah Aldo yang sedaritadi mencoba membuat Billy tersadar dari pingsannya.
"Kakakmu pingsan tadi di taman." jawabnya tenang. Jadi, Billy adalah kakaknya Joe? Kenapa aku baru menyadarinya kalau mereka memang mempunyai kemiripan. Aku terdiam sejenak memandangi wajah Billy dan Joe bergantian. Tiba-tiba Joe menepuk pundakku dan menyuruhku duduk. Haaah mengapa hidupku menjadi serumit ini setelah aku mengenal mereka bertiga?

Sudah hampir setengah jam Billy pingsan dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan siuman. Joe mulai panik dan menelepon papa dan juga mamanya untuk segera pulang. Kata Joe, tidak biasanya Billy pingsan sampai selama ini.
"Pah... cepet pulang pah, kak Billy pingsan tapi udah setangah jam gak siuman-siuman."
"............."
"Oke aku tunggu. Cepet ya pah..."
"Mah... cepet pulang mah, kakak pingsan tapi sampai sekarang belum siuman."
"............."
"Udah dari setengah jam yang lalu."
"............."
"Oke. Cepet pulang ya mah..."
Joe meletakkan ponselnya yang sedaritadi digunakan untuk menghubungi orangtuanya. Adik yang baik. Sepertinya dia sangat menyayangi Billy, kakaknya. Dia mendudukkan dirinya diatas sofa yang kosong. Terlihat tatapannya kosong dan tersirat kesedihan didalamnya. Aku menghampirinya dan duduk disampingnya. Tiba-tiba Joe bicara.
"Kakakku.... sakit...." dia terlihat tenang saat mengatakan itu.
"Sakit? sakit apa?" tanyaku penasaran. Aku memang belum mengetahui Billy sakit apa.
"Ah... tidak. Kau tidak perlu tau. Baiklah aku ke kamar dulu sebentar." dia langsung beranjak dari tempat duduknya dan langsung naik ke kamarnya. Kenapa dia tidak mau memberitaukan penyakit Billy? Apa separah itu?
Aku beralih bertanya pada Aldo yang sedaritadi hanya diam sambil mengaitkan jari-jarinya satu sama lain. Sepertinya sekarang dia sudah mulai panik dan khawatir.
"Kak? kak Billy ke......?" belum selesai aku bertanya, dia sudah memotong pertanyaanku.
"Jangan tanya. Aku gak tau. Dia gak pernah kasih tau aku dia sakit apa. Aku aja yang sahabatnya gak dikasih tau, apalagi kamu yang bukan siapa-siapanya." jawabnya panjang lebar. Kata-katanya menusuk sekali. Apa maksud kata-kata 'bukan siapa-siapanya'? Oh ya, memang aku bukan siapa-siapanya. Billy belum mengatakan apapun padaku.
"Heemmm.... maaf." jawabku singkat. Aku kembali sibuk dengan pikiranku sendiri sampai akhirnya datang seorang pria dan wanita paruh baya berdandanan rapi memasuki rumah Billy. Itu orangtua Billy.
"Billy......" ucap mereka serentak. Terlihat wajah-wajah panik sesaat setelah memasuki rumah ini.
"Joe mana?" tanya papa Billy pada Aldo yang sudah merubah posisinya yang sedaritadi duduk menjadi berdiri.
"Di kamar om." jawab Aldo singkat.
"Oh. Sejak kapan Billy pingsan?" tanya papa Billy padanya. Sepertinya orangtua Billy tidak menyadari keberadaanku sedaritadi disini.
"30 menit yang lalu. Sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit om, tante. Aku takut Billy kenapa-kenapa." ucap Aldo gemetar.
"Baiklah, ayo." ajak papa Billy. Aku ditinggal begitu saja. Mereka benar-benar tidak menyadari keberadaanku disini. Aldo, yang sedaritadi melihatku disini, juga meninggalkanku.

Aku keluar dari rumah Billy, bertujuan untuk pulang. Tapi tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Aku menoleh ke belakang dan menemukan Joe disana.
"Mau kemana?" tanyanya singkat? "Yang lain kemana?" tanyanya lagi.
"Aku mau pulang. Semuanya ke rumah sakit." jawabku lirih. Saat ini yang ada dipikiranku hanya 'pulang'.
"Aku antar. Tunggu sebentar." aku hanya bisa diam menatap kepergian Joe untuk mengambil kunci mobilnya. Tak lama, dia kembali dan langsung menarik tanganku untuk masuk ke mobilnya. Dia mengantarku pulang.
1 menit. . .

5 menit. . .

15 menit. . .
Tak ada yang bicara. Rasa canggung sangat terasa saat ini. Joe hanya menatap lurus ke arah jalanan sambil berkonsentrasi menyetir. Aku, aku hanya diam bersama banyak pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku yang membuatku pusing. Tiba-tiba deheman Joe memecah keheningan.
"Ehhmmm.... gak perlu khawatirin kakak aku. Dia baik-baik aja." ucapnya sekilas sambil tetap menatap jalanan.
"Ya." hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku mencoba bertanya tentang penyakit Billy lagi padanya. "Sebenernya kakak kamu ss...saakit apa?" tak ada jawaban darinya. Aku menunduk lesu mendapati pertanyaanku yang diacuhkan olehnya. Sekitar 3 menit kemudian, dia menjawab apa yang kutanyakan tadi. "Leukimia." jawabnya singkat. Aku membisu, rasannya ada batu besar yang menimpa kepalaku saat ini.
"Menurutmu, Leukimia bisa disembuhkan? untuk apa Billy dibawa ke luar negeri untuk pengobatan kalau penyakitnya saja tidak bisa disembuhkan." ucapku sambil menahan air mata yang sewaktu-waktu bisa saja jatuh.
"Menurutmu, dia mau? tidak! dia harus! dia harus melupakan sahabat kecilnya dulu. Karena dia tau, dia tak akan bisa bersamanya lagi." Joe bicara penuh penekanan. Apa katanya? melupakan sahabat kecilnya? Apa maksudnya?
"Maksudmu? aku tidak mengerti." ucapku polos.
"Apa semudah itu kamu melupakan Panda berpipi tembam milikmu itu? yang dulu sering bermain denganmu, yang dulu sering menangis bersamamu saat dia melihatmu kesakitan? kamu pikir bagaimana perasaan kakakku saat mengetahui waktunya tak lama lagi?" Panda berpipi tembam? kau kah itu Billy? kau yang dulu kuanggap kakakku yang selalu menemaniku saat aku sendirian, saat aku menangis, saat aku kesakitan?
"Panda? dia?" aku tak bisa berkata-kata lagi. "Ya, dia sahabat yang sudah kau anggap kakakmu sendiri." ternyata selama ini, Billy yang kusukai adalah sahabatku waktu aku masih kecil dulu? BODOH! Mengapa aku tidak menyadarinya sejak awal. Mengapa aku BUTA saat melihatnya sekarang? Billy yang dulu kupanggil 'Panda tembam' itu akan meninggalkanku? Itu tidak mungkin. Ini pasti mimpi.

Beberapa saat setelah perdebatan kami, akhirnya kami sampai di rumahku. Joe menghentikan mobilnya di depan gerbang rumahku. Aku pamit masuk. Tapi langkahku terhenti saat aku merasakan ada seseorang yang menggenggam tanganku.
"Ada apa?" tanyaku singkat. "Eeemmmm.... sepertinya keberangkatan kak Billy ke Inggris akan dimajukan." sebenarnya apa yang dia inginkan? sudah membuatku diam seribu bahasa, sekarang apa dia ingin membuatku pingsan disini? "Apa secepat itu?" hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. "Ya." ucapnya singkat sambil menatap mataku. Aku tidak memedulikannya. Aku langsung berlari masuk ke dalam rumahku dan langsung naik ke kamarku. Aku membanting pintu kamarku keras-keras dan langsung menghempaskan tubuhku ke kasur empukku. Baik, ini pertama kalinya aku merasakan sakit yang amat sangat di dadaku. Sedih, sakit, marah, semua bercampur menjadi satu. Tak lama, ibuku masuk ke kamarku sambil berkacak pinggang.
"Kamu mau merusak pintu kamarmu ini ha? Kenapa banting-banting pintu begitu?" ibuku berkata dengan penuh penekanan. Dia tidak sadar kalau anaknya ini sedang menangis.
"............" aku diam, masih menangis.
"Lala? kenapa sayang?" tanya ibuku perlahan. Ibuku mengusap rambutku pelan sambil merengkuh tubuhku ke pelukannya.
"Ibbuuu..... ii..bb..uuu..." aku tidak bisa bicara apapun. Kata-kata yang ingin kuucapkan tak ada satupun yang bisa terucap.
"Kenapa nak? cerita sama ibu." ucap ibuku menenangkan. Aku mulai mencoba bercerita pada ibuku. Ibuku pasti juga akan terkejut mendengar ceritaku.
"Ibb..buu inget Panda tembam?" tanyaku padanya. Aku berusaha menahan isakanku yang akan segera terdengar lagi.
"Inget sayang, sahabat kamu dulu. Haahhh tapi dimana ya dia sekarang. Hampir 10 tahun dia pergi dan tinggal di tempat kelahirannya. Pasti dia semakin tampan hehehe." kalimat ibuku itu mengingatkanku akan kenangan-kenanganku dulu bersama si Panda itu........

"Huhuhuhuhuhu.... ibuuuu sakiiittt....." isakkanku terdengar lebih keras karena lukaku ini. Terdengar langkah kaki kecil mendekatiku. Aku menoleh dan mendapati Panda tembam menghampiriku.
"Lala kenapa? Apa yang sakit?" tanyanya khawatir. Terlihat air mata sudah mulai membasahi pipinya yang tembam.
"Kaki aku sakit Panda. Tadi aku jatuh waktu mau ambil bola aku." aku masih terisak menahan perih di lututku.
"Sini sini Panda lihat." sejenak dia memandangi lututku yang berdarah itu. Dia meniup-niup lututku pelan. "Naah udah gak sakit kan? sekarang ayo kita pulang, kita obati di rumah ya." ucapnya lagi. Dia mengelus rambutku pelan sambil memapahku berjalan menuju ke rumah.

........Panda tembam, apakah kau akan benar-benar meninggalkanku? tidak cukupkah kau 10 tahun pergi? siapa yang akan mengobati lukaku lagi kalau nanti aku jatuh saat mengejar bola? siapa yang akan menenangkanku lagi saat aku menangis melihat mainanku rusak diinjak kak Tom?

Tak lama, aku tersadar dari lamunanku dan kembali ke percakapanku dengan ibu yang sempat terhenti beberapa saat.
"Panda...... Panda sudah pulang bu. Panda sekarang kakak kelasku di sekolah." kataku perlahan.
"Benarkah? oke, kalau begitu besok ajak Panda main ke rumah ya." ucap ibuku antusias. Dia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
"Bu.... gak bisa." ucapku lirih.
"Kenapa gak bisa? dia sibuk sama ujian-ujiannya?" tanyanya penasaran. Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ibuku ini.
"Bbbuu..... Panda sakit...." ucapku diakhiri tangisan memilukan. Aku sudah tak kuat menahan tangisku yang sewaktu-waktu akan pecah.
"Sakit? maksud kamu apa?" tanya ibuku penasaran. "Lala....." ibuku mendesakku untuk segera menjawab pertanyaannya.
"Sakit. Leukimia." ibuku terdiam mendengar ucapanku itu. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca. Sepertinya ibuku juga akan segera menangis. Tak heran ibuku menangis saat mendengar kabar itu. Billy sudah dia anggap seperti anaknya sendiri. Ibuku sangat menyanyangi Billy sama seperti dia menyanyangiku dan kak Tom.
"Sabar sayang....." ucapnya menenangkan sambil merengkuh tubuhku kedalam pelukannya.

SKIP TIME
.
.
.
.

Hari ini, hari keberangkatan Billy ke Inggris. Aku memutuskan untuk tidak mengantarnya ke bandara. Tapi kalau aku tidak mengantarnya ke bandara, aku pasti tidak akan bertemu lagi dengannya. Ah, tidak tidak tidak! aku pasti akan bertemu dengannya lagi. PASTI. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat nama Joe disana.
"Halo Joe."
"Kamu enggak kesini?" tanyanya singkat.
"Sepertinya tidak. Kenapa?" jawabku tak bersemangat.
"Panda mencarimu...."

to be continue. . .

Minggu, 24 Juni 2012

Is It Love or Like? PART 3

. . . . . . . . . . .

DEG! Aduh kenapa degub jantungku ini kembali tidak normal seperti ini. Ayolah Billy, sudah cukup kau membuatku jantungan berkali-kali seperti ini.
"Eeemmm tadinya mau makan, tapi......" aku tak melanjutkan kalimatku, tidak mungkin kan aku bicara yang sejujurnya kalau aku lupa membawa uang jajan dan juga bekalku.
"Tapi apa?" tanyanya penasaran.
"Haha engga kak, gapapa hehe.." dustaku padanya. Tapi sepertinya terlihat ekspresi wajahku yang sedang berbohong dan sangat ketara di wajahku.
"Hahaha gak bawa uang jajan ya?" pertanyaannya tepat sekali. Kenapa dia bisa tau kalau aku tidak bawa uang jajan? Apa dia bisa membaca pikiranku. Astaga! Sepertinya mulai sekarang aku harus berhati-hati dengan pikiranku.
"Ha?" aku hanya bisa menjawab seperti itu. Bodohnya aku, saat ada di depannya hanya ada kata "Ha" untuk menjawab setiap tebakan-tebakannya yang selalu tepat.
"Kenapa kok ha? mau makan? aku pesenin ya, tunggu disini sebentar." dia langsung menghilang dibalik kerumunan siswa-siswi yang kelaparan di tempat ini. Aku kurang cepat untuk mencegahnya agar dia tidak membelikanku makanan. Gerakannya lebih cepat daripada gerakanku.

Beberapa saat kemudian, Billy kembali sambil membawa dua piring makanan. Sesampainya di mejaku, dia langsung meletakkan makannya.
"Nih, dimakan ya La." dia menggeser piring yang berisi makanan itu ke depanku. Aduh Billy, kenapa kau baik sekali padaku. Aku terdiam sejenak memandangi piring berisi makanan itu.
1 detik . . .

5 detik . . .

10 detik . . .
Tak ada yang bicara dan tak ada yang memakan makanan yang sudah tersaji. Sampai akhirnya Billy berdehem.
"Ehhmmm nasinya gak akan berkurang kalo cuma diliatin." ucapnya sambil menyunggingkan senyum walaupun tipis.
"Ha? hehe iya kak." benar kan, aku menjawab ucapannya dengan "Ha" untuk yang kesekian kalinya.
"Yaudah dimakan." ucapnya singkat. Kami langsung menyantap makanan kami masing-masing. Tak ada yang bicara selagi kami makan. Aku hanya asyik dengan sepiring nasi yang sedang kunikmati.

Leganya, akhirnya perutku terisi penuh. Rasanya tak ada ruang lagi untuk sesuap nasipun yang bisa masuk ke perutku. Setelah selesai makan, aku menatap Billy dalam diam. Sambil mengelus-elus perutku yang penuh makanan ini, aku mulai berucap.
"Eeemmm makasi ya kak buat traktirannya. Kapan-kapan gantian aku yang traktir kakak ya." ucapku sambil menyunggingkan senyum manis andalanku.
"Sama-sama. Gak, jangan. Aku gak pernah mau ditraktir cewe, jadi jangan pernah coba-coba buat traktir aku. Ingat?" jawabnya dingin. Sepertinya dia juga mengancamku agar aku tidak melakukkan rencanaku barusan.
"Ha? hehe iya deh kak. Tapi kalo sekali aja gapapa kan?" tanyaku dengan tatapan meledek.
"Coba-coba awas aja." jawabnya sambil mengetuk kepalaku pelan menggunakan sendoknya yang sedaritadi digenggamnya.
"Aduh, sakit!" kataku merajuk. Sebenarnya aku hanya ingin mengerjainya. Tapi ternyata...
"Yang mana yang sakit? coba liat." dia langsung pindah ke samping ku dan mendudukkan dirinya disana. Setelah itu, dia menengok puncak kepalaku yang tadi dia pukul menggunakan sendok.
"Ha? haha engga kak gapapa, cuma becanda." jawabku sambil tertawa renyah.
"Dasar jail." dia mencubit hidungku. Dia belum tau kalau aku tidak suka dicubit hidungnya. Itu bisa membuatku langsung merasa kesakitan. Mungkin itu berlebihan, tapi memang benar. Sepertinya hidungku ini sudah memerah seperti buah tomat yang baru masak.
"Hahahahahahaha.......... hahahahahahaha......... hahahahahahaha........" Billy tertawa terbahak-bahak. Pasti karena dia melihat hidungku. Sial kau, bisa-bisanya tertawa seperti itu. Selagi Billy tertawa, aku tak sengaja menoleh ke kiri dan menemukan seseorang sedang mengintip kegiatanku dan Billy. Dia menatap tajam ke arah Billy. Itu Aldo. Ada apa dengannya? Apa dia dan Billy sedang ada masalah? Tatapannya begitu menusuk dan mengerikan. Tak sengaja tatapan kami bertemu. Dia terkejut melihatku menatapnya. Saat itu juga, dia langsung pergi dari tempatnya semula. Sepertinya ada yang tidak beres dengannya dan Billy. Baiklah, aku harus mencari tau apa yang membuat Aldo menatap Billy setajam itu.

Lama sekali Billy tertawa terbahak-bahak menertawakan hidungku. Baiklah, sepertinya aku harus berpura-pura marah padanya agar dia berhenti mentertawakanku.
"KYAAAAAAAA BERHENTI MENTERTAWAKANKU! ITU TIDAK LUCU!" ucapku sambil berdiri dan bersiap-siap pergi.
"Yah yah yah maaf maaf maaf. Ya ampun gitu aja marah. Oke oke maaf ya maaf." katanya sambil berdiri dan APA? DIA MENGACAK RAMBUTKU? Tepatnya mengacak pelan rambutku seperti seorang ayah yang habis menasihati anaknya. Dia mulai membuat jantungku berdegub tidak normal lagi. Lalu aku buru-buru pergi meninggalkan Billy dengan langkah seribu yang kumiliki. Billy menatap kepergianku dengan tatapan bingungnya. Masa bodoh dengan apa yang dia rasakan, aku kesal dengannya saat ini. Aku terus berlari menuju kelas dan tak sengaja aku melihat Aldo sedang duduk terdiam sendirian. Entah apa yang dia pikirkan, tapi sepertinya keadaannya saat ini tidak begitu baik. Aku menghampirinya, dan tiba-tiba dia terkejut melihatku sudah ada di depannya.
"Ah kamu, ngagetin aja." ucapnya sambil mengelus dadanya pelan.
"He? kok sampe kaget gitu? emang aku hantu apa." kataku sambil mempoutkan bibirku.
"Hahaha jangan manyun-manyun gitu, tambah imut nanti." ucapnya polos. Sepertinya dia ingin mencoba membuat jantungku berdebar lagi seperti tadi aku bersama Billy.
"Haha itu meledek atau memuji he?" tanyaku sambil mengangkat sebelah alisku.
"Memuji kali ya lebih tepatnya. Tapi kayaknya itu emang kenyataan deh. Kalo kamu udah kayak gitu bisa bikin aku terbang." apa? aku mungkin salah mendengar ya. Sepertinya dia agak berlebihan. Jujur, aku agak tidak menyukai orang yang berlebihan, contohnya dia. Tapi, mungkin niatnya baik, untuk memujiku. Benarkah?
"Haha bisa aja. Oiya kakak kenapa diem aja gitu tadi? Gak sama........... kak Billy?" tanyaku perlahan, aku tidak ingin membuatnya tersinggung. Sepertinya benar, dia sedang ada masalah dengan Billy. Buktinya, dia langsung menunduk setelah aku menanyakan hal itu.
"Gapapa. Bukannya tadi Billy sama kamu di kantin? kamu kan tadi liat aku." jawabannya yang kedua sepertinya jujur, tapi tidak untuk jawabannya yang pertama.
"Beneran gapapa? iya tadi aku emang sama kak Billy di kantin. Tapi aku tinggalin. Abisnya dia ngeselin." jawabku jujur juga. Aku masih penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya dengan Aldo dan Billy.
"Haha... kenapa dia?" dia malah balik bertanya dan tak menjawab pertanyaanku.
"Dia ketawain aku. Ah males ngomongin kak Billy." jawabku singkat sambil lagi-lagi memanyunkan bibirku.
"Hahaha yaudah. Mendingan kamu ke kelas gih, udah mau bel." perintahnya padaku. Sepertinya suasana hatinya mulai agak membaik.
"Oke." aku langsung melesat menuju kelas. Aku tidak mempedulikan Aldo yang menatapku dari jauh. Rasanya hari ini aku benar-benar merasa bahagia sekaligus malu sekaligus bingung sekaligus penasaran dalam waktu yang hampir bersamaan. Sudahlah, mungkin memang ini takdirku setelah aku mengenal Billy dan sahabat terbaiknya itu.

SKIP TIME
.
.
.
.

Bel pulang telah berbunyi. Aku membereskan buku-bukuku yang berserakan di atas meja. Saat ini yang ada dipikiranku hanya "PULANG". Setelah aku membereskan buku-bukuku, aku segera melesat keluar kelas dan segera menuju gerbang. Tiba-tiba seseorang mencegatku. Itu Billy. Oh ya, aku baru ingat kalau siang ini aku ada acara jalan-jalan dengannya. Bodohnya aku ini, kenapa aku bisa lupa dengan acara penting seperti ini.
"Mau kemana ni anak. Lupa sama acara kita? Payah." ucapnya sambil berjalan menjauhiku. Gayanya seperti anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan ice cream oleh orangtuanya. Aku langsung berlari mendekatinya.
"Maaf kak, jangan marah gitu. Oke ayo kita jalan. Come on!" kataku sambil menarik tangannya menuju parkiran. Setelah itu, dia langsung menaiki motornya dan menghidupkan mesin motornya itu. Dia menyuruhku untuk naik dan memakai salah satu helm yang tadi pagi kupakai.

Diperjalanan, tak ada satupun yang bicara. Hanya suara degub jantung yang entah milik siapa yang sedaritadi berbunyi. Aku masih bingung, sebenarnya dia mau mengajakku kemana. Sampai saat ini, dia belum memberitahuku kemana kami akan pergi.

Tak lama, kami sampai ke tempat tujuan. Taman? Dia mengajakku ke taman? Baiklah, mari ikuti saja maunya. Dia menarikku mendekati bangku panjang yang ada di bawah pohon disalah satu sudut taman. Bunga Mawar bertebaran di taman itu. Aku terdiam begitu lama memandangi sekeliling taman ini. Jujur, aku sangat amat menyukai bunga, khususnya bunga Mawar. Billy menatapku bingung. Dia menepuk bahuku pelan dan mengajakku duduk di bangku panjang itu.
"Bengong aja lagi ni anak. Ayo duduk." ajaknya sambil menarik tanganku pelan. Aku hanya mengikuti apa yang dia lakukan, aku masih terpesona dengan bunga-bunga itu.
"......." aku masih diam memandangi sekelilingku.
"Nah. Eh? kenapa senyum-senyum sendiri ni anak? hallooooo masih sadar kan La? kamu baik-baik aja kan? halooooo...." ucapnya sambil melambai-lambaikan tanggannya di depan wajahku.
"......." aku masih dia seribu bahasa. Billy menatap sekeliling. Aku mulai sadar dan menoleh ke arah Billy dan ternyata dia sedang tersenyum tipis ke arahku. Billy beranjak dari tempat duduknya dan menjauh dari tempat duduknya semula. Dia berjalan semakin menjauh tanpa menoleh ke arahku. Tak lama, dia berhenti di depan bunga-bunga Mawar yang berwarna merah menyala di salah satu sudut taman ini.

Beberapa saat kemudian, dia kembali ke tempat duduk kami semula sambil menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya. Ada apa dengannya? Aku semakin bingung dengan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Tiba-tiba dia mendekatiku dan menundukkan wajahnya sedikit. Lalu dia menunjukkan apa yang ada dibalik punggungnya itu. BUNGA MAWAR! Ah, kau sangat mengerti bagaimana membuat jantungku melompat-lompat kegirangan. Aku mengambil bunga Mawar yang masih ada di genggamannya itu. Aku baru sadar kalau dia menggenggam bunga Mawar itu terlalu erat sampai-sampai aku melihat setetes darah jatuh bebas ke tanah dari telapak tangannya.
"Tau gak kalo bunga Mawar itu tangkainya ada durinya?" tanyaku meledek.
"Tau kok. Kenapa?" tanyanya polos. Dia itu bodoh atau apa sih.
"Kalo tau, kenapa meganggnya gitu? Berdarah kan tuh jadinya tangan kakak. Gimana sih." ucapku sambil meraih sapu tanganku yang waktu itu dia kembalikan. Aku mulai mengelap tangannya yang berdarah itu.
"Hahahaha gapapa kok. Lagipula sakitnya ketusuk duri tangkai Mawar gak sesakit 'ini' saat tadi kamu pergi ninggalin aku di kantin." ucapnya sambil menunjuk ke arah dadanya saat dia mengatakan 'ini'. Apa? maksudnya? aku masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud.
"Maksudnya?" tanyaku polos. Sepertinya aku harus menservice otakku ini dulu agar bisa cepat tersambung saat dia bicara.
"Haaahhhh payah." ucapnya datar sambil memalingkan wajahnya.
1 detik . . .

5 detik . . .

10 detik . . .

to be continue. . .

Is It Love or Like? PART 2

. . . . . . . . . .


Dinginnya pagi mulai menyapaku lagi hari ini. Sejenak aku melirik jam berbentuk wajah panda di atas meja samping tempat tidurku, pukul 06.00. GAWAT AKU TERLAMBAT BANGUN. Aku bangun dan menyambar handukku yang tergantung di senderan kursi dekat tempat tidurku. Lalu aku bergegas menuju kamar mandi dan sepertinya aku harus mandi kilat untuk hari ini.


15 menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi dan segera mengenakan seragam sekolahku. Kulirik sejenak jam yang menggantung di dinding kamarku, pukul 06.15. Secepat kilat aku merapikan buku-buku yang harus ku bawa hari ini. Semalam aku lupa membereskan buku-buku mata pelajaran hari ini. Ah, ini semakin membuatku terlambat. Aku bergegas turun setelah membereskan buku-buku, merapikan seragam, dan berdandan selayaknya anak sekolah. Terlihat ayah, ibu dan kakakku sudah duduk di meja makan. Ku lirik jam dinding yang tergantung di ruang tengah, pukul 06.25. GAWAT AKU SUDAH BENAR-BENAR TERLAMBAT. Aku tidak sama sekali menyentuh sarapanku, aku hanya meminum susu dan langsung menarik kakakku untuk langsung berangkat sekolah.
"Ayo kak aku udah telat nih." ucapku sedikit membentak.
"Sabar. Lagian salah sendiri kenapa bangunnya telat." jawab kakakku. Ah, dia benar-benar tidak mengerti kalau adiknya ini sedang buru-buru.
"Ibu, ayah aku berangkat ya. Bye...." ucapku dan langsung berlari masuk ke mobil.


Kenapa jalan menuju sekolah pagi ini macet sih, aku sudah terlambat ini. Kakakku menekan-nekan klakson mobilnya tanda tidak sabar. Aku juga kesal dengan keadaan jalan yang macet di pagi hari. Benar-benar kau Jakarta. Haaaahhhh. Tak lama, aku melihat sebuah motor berhenti di sebelah mobil kakakku. Sepertinya aku kenal dengan motor dan pengendaranya itu. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata benar yang ku duga. Itu Billy. Aku langsung membuka kaca mobil dan memanggilnya semangat.
"Kak Billy!" teriakku keras, karena aku tau dia pakai helm dan memungkinkan dirinya untuk tidak mendengarku saat dia dipanggil.
Tak kusangka, dia menoleh dan membuka kaca helmnya. Dia tersenyum sebentar lalu balik menyapaku.
"Eh kamu La, baru berangkat? Telat?" sapanya. Dia juga bertanya.
"Hahaha iya kak aku telat, abis bangunnya kesiangan." jawabku sambil tertawa renyah.
"Kalo gitu, bareng sama aku aja yuk. Ini macet loh, gak mungkin mobil bisa jalan di keadaan jalan yang kayak gini. Motor aja susah." katanya sambil sedikit berdecak kesal.
Apa aku tidak salah dengar? Dia mengajakku berangkat sekolah bersama? Sepertinya aku akan segera menjadi gila.
"Ha? eeemmmm gimana ya?" jawabku singkat sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Ayolah, udah telat nih." ucapnya sambil melirik jam yang ada di tangan kirinya.
Sebelum aku menerima tawaran Billy, aku izin terlebih dahulu kepada kak Tom.
"Kak, masih lama ya?" tanyaku polos.
"Yaiyalah, liat tuh depan. Macet gillaaaaaa...." katanya dengan memasang muka yang agak sedikit eemmm aneh sambil geleng-geleng kepala.
"Kalo gitu, aku bareng sama kakak kelas aku ya. Dia ngajak aku bareng." ucapku polos.
"Ha? Siapa?" matanya terbelalak, sepertinya dia kaget.
"Itu tuh." jawabku sambil menunjuk ke arah Billy berada.
"Waaaaah ganteng tuh. Pacar kamu?" ucapnya keras-keras.
"BUKAN! Udah buruan, boleh gak aku bareng sama dia?" jawabku kesal.
"Yaudah gih daripada terlambat, nanti dikunciin di luar gerbang lagi." ucapnya dengan mengibas-ngibaskan tangannya.
"Oke. Bye kak, aku duluan. Muah!" ucapku singkat lalu mencium pipi kakakku tersayang itu.
Aku langsung keluar dari mobil dan menuju ke sisi kiri motor Billy.
"Boleh?" tanyanya singkat.
"Boleh." jawabku sambil menunjukkan senyum tipis.
"Oke. Ayo naik." ajaknya halus.
"Oke." jawabku sekenanya. Sebenarnya aku sedang menahan kecepatan detak jantungku ini. Tapi aku berusaha terlihat biasa-biasa saja di depannya.
Lalu aku segera naik dan mendudukkan diriku di atas motornya. Dia langsung menyelip mobil-mobil yang ada di depannya. Mungkin dia menganggap kalau mereka adalah penghalang jalannya menuju sekolah, tapi memang benar. Billy mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi setelah terbebas dari macet yang memusingkan itu. Aku ketakutan, jantungku berdegub cepat untuk yang kesekian kalinya.
"Kak, pelan-pelan aja kak. Aku takut." ucapku keras-keras. Aku mendengar suaraku yang agak sedikit bergetar, mungkin karena ketakutan.
"Ah gamau, udah telat nih." jawabnya seenaknya. Aku sudah sangat amat ketakutan.
"Aduh kak, jangan ngebut-ngebut gini kak nanti nabrak. Aku takut kak." tanpa sadar aku mengeratkan peganganku padanya.
"Nah, gitu kalo takut." ucapnya puas. Terlihat seulas senyum dibalik kaca helmnya yang gelap.
Sepertinya sebentar lagi aku akan melompat. Tapi sesegera mungkin aku mengurungkan niatku, karena aku masih mau hidup. Sepanjang jalan kami diam, tak ada yang bicara. Sampai akhirnya kami sampai di sekolah. Bel berbunyi bersamaan dengan kami memasuki gerbang. Untunglah kami selamat dari hukuman guru piket hari ini.


Aku turun dari motornya. Aku menatapnya sejenak saat dia melepas helmnya. DEG! Jantungku berdegub tidak normal lagi untuk yang kesekian kalinya. Sepertinya sebentar lagi aku akan pingsan. Oke ini berlebihan. Aku sesegera mungkin tersadar dari lamunanku dan berterima kasih padanya.
"Eeemmm kak Billy, makasih atas tumpangannya. Sepertinya aku harus segera ke kelas." ucapku gugup.
"Oh, ya La sama-sama. Yaudah kalo kamu buru-buru." jawabnya singkat sambil menggantungkan helmnya di stang motornya.
"Yaudah. Sampai ketemu nanti siang kak. Bye." ucapku singkat.
"Bye." jawabnya sekenanya.
Aku langsung berlari menuju kelas. Ya, pagi ini aku mendapat kegembiraan yang berlipat-lipat. Terima kasih Tuhan, aku menyayangimu.


Aku langsung masuk ke kelas dan melihat Sita sudah duduk di kursinya. Mungkin dia sudah datang sejak tadi. Napasku terengah-engah karena aku tadi berlari dari parkiran menuju kelas. Aku langsung duduk di kursiku dan mengistirahatkan tubuhku yang lelah ini.
"Waaaah, abis lari maraton? Apa ke sekolah lari?" tanya Sita, lebih tepatnya meledek.
"Apaan sih, gue tadi lari dari parkiran ke kelas. Takut guru udah masuk." jawabku jujur.
"Ha? parkiran? lo bawa motor? mobil?" tanyanya borongan seperti wartawan.
"Enggak, tadi gue ke sekolah sama kak Bil....." jawabku keceplosan. GAWAT! Pasti sebentar lagi aku akan diledek olehnya.
"Kak Bil? siapa? emmmm...." tanyanya penasaran. Sepertinya dia juga berpikir, siapa yang berangkat bersamaku. Sita berpikir sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dagunya. "AHA! KAK BILLY YA? WAAAAAAAAHHHHH!!!" tebakannya pas. Dia berucap demikian sambil berteriak dan membuat anak-anak di kelasku menoleh ke arahnya dan menatapnya heran.
"Gausah kenceng-kenceng ngomongnya bisa gak?" aku meninju lengannya pelan sambil merajuk.
"Hehehe maaf keceplosan. Abis antusias banget gue hehehe....." jawabnya polos sambil tertawa tanpa dosa. Anak itu sepertinya harus kutinju dulu baru bisa menjaga ucapannya.
"Haaahhhh Lala dianter kak Billy ke sekolah. CIEEEEEEEEEEEEEEE!!!!!!!!!!" salah satu temanku menyahut sambil berteriak. Ini semua gara-gara Sita! Pasti wajahku sekarang sudah menampakkan semburat merah yang sangat ketara. Malu sekali rasanya. Sita, awas ya akan kubalas kau nanti.


Guru sudah masuk ke kelasku dan mulai mengajar. Beliau menjelaskan tentang materi pelajaran dengan panjang lebar. Mungkin itu tidak bisa dibilang menjelaskan, tapi berkhotbah. Rasanya aku mengantuk gara-gara khotbah Beliau. Sepertinya kedua kelopak mataku sudah berat dan minta untuk ditutup. Tanpa sadar aku terlarut dalam suasana yang membosankan itu dan membuatku tertidur. Aku tertidur dibalik buku tebal yang menutupi wajahku. Belum pernah aku melakukkan hal bodoh seperti ini sebelumnya. Tiba-tiba aku mendengar ada sesuatu yang jatuh di atas mejaku. Suaranya keras sekali dan membuatku langsung terbangun.
"LALA! BANGUN! INI BUKAN SAATNYA KAMU UNTUK TIDUR. SEKARANG KAMU KELUAR DAN BERDIRI DI DEPAN KELAS SAMPAI PELAJARAN SAYA SELESAI!" ternyata suara keras itu adalah suara buku yang berbenturan dengan mejaku. Guruku itu kesal terhadapku dan menyuruhku untuk keluar dari kelasnya.
"KAMU JUGA JOE! AYO KALIAN BERDUA KELUAR, TUNGGU APALAGI?" ucapnya lagi. Ternyata Joe juga tidur saat pelajaran Beliau. Oke, tadi aku sudah berhasil tidak terlambat, tapi sekarang aku tidak berhasil untuk menghindar dari hukuman guruku yang sedaritadi berkhotbah itu. Aku dan Joe keluar dari kelas dan mulai melaksanakan perintah guruku itu. Sial sekali aku. Aku menoleh ke arah dimana Joe berdiri, aku langsung merinding melihat tatapan matanya yang sangat menusuk. Sepertinya dia kesal. Jujur, aku juga kesal tapi tidak seperti dia. Ekspresi wajahnya datar dan tatapannya menusuk. Sepertinya kau jangan menatapnya lagi, takut nanti aku bisa langsung mati karena ditatap olehnya.


Hampir satu jam kami berdiri di luar kelas. Pelajaran ini akan berakhir setengah jam lagi. Aduh rasanyanya perutku lapar. Aku baru ingat, tadi aku tidak sarapan. Keringat mengucur deras dari kedua pelipisku. Aku sudah tidak tahan lagi menahan laparku. Aku menatap Joe yang sedang menikmati roti isinya yang tadi dibelinya di kantin. Padahal kami sedang dihukum, tapi dia berani-beraninnya pergi ke kantin untuk membeli makanan. Rasa laparku semakin menjadi selagi aku menatap Joe menyantap roti isinya. Tak sengaja, ku dengar perutku berbunyi. Joe menoleh ke arahku dan mengerutkan dahinya bingung.
"Suara apaan tuh?" tanyanya entah pada siapa, karena dia tidak menatap pada siapa-siapa. Tapi sepertinya, dia bertanya pada roti isi yang sedang disantapnya, karena dia menatap roti isinya itu lekat-lekat.
"......" aku hanya diam. Sepertinya sekarang aku harus menganggapnya orang gila yang suka berbicara dengan roti isi.
"Lo? Itu suara perut lo ya? Iya kan?" jawabnya tepat menusuk. Kenapa dia bisa tau kalau itu suara perutku. Aku hanya bisa senyum-senyum dengan memasang wajah polosku.
"Ditanya malah senyum-senyum doang. Dasar cewe aneh." jawabnya datar. APA? AKU DIKATAI CEWE ANEH? KURANG AJAR.
"Apaan? cewe aneh? Kayaknya lo yang aneh." jawabku datar sambil menaikkan sebelah alisku.
"Gue? kok?" jawabnya bodoh.
"Iyalah, lo tadi tanya ke roti isi, bukannya itu gila namanya?" ucapku sadis. Sepertinya dia mulai geram.
"Lo laper? Mau gak?" dia tidak meneruskan perdebatan kami barusan. Dia malah menawarkanku roti isinya.
"Gak ah, itu kan udah dimakan sama lo. Gue dikasih sisa, jahat banget." jawabku tanpa melihatnya.
"Gue bagi dua, kan masih banyak. Nih." ucapnya sambil menyodorkan salah satu roti isinya yang sudah dibadi dua.
"Beneran?" tanyaku singkat.
"Iya nih makan daripada lo pingsan, nanti nyusahin gue." jawabnya menusuk. Dasar cowo aneh plus nyebelin. Kenapa aku harus kenal sama cowo kayak gitu? Rasanya mau ku tinju wajahnya sekarang juga.


Bel istirahat telah berbunyi. Akhirnya masa hukumanku dan Joe sudah selesai. Lega sekali rasanya. Tapi aku masih lapar, jadi aku buru-buru berlari ke kantin untuk membeli makanan. Hari ini aku lupa membawa bekalku yang sudah disiapkan ibu. Kalau aku buru-buru memang selalu begitu. Kadang handphoneku yang tertinggal, pernah juga tugasku yang tertinggal, tapi itu waktu SMP dulu. Di kantin aku mulai bergerilya mencari makanan apa yang akan ku beli. Ku lihat uang di saku bajuku. Ah sial, aku tidak membawa uang sepeserpun. Benarkan yang tadi aku bilang, pasti kalau buru-buru ada saja yang tertinggal. Dan hari ini tidak hanya bekalku, tapi juga uang jajanku. Aku terduduk lemas di bangku kantin. Aku menatap nanar ke seluruh penjuru kantin. Aku semakin lapar kalau terus-terusan ada disini. Tiba-tiba kudengar derap kaki menghampiriku. Aku menoleh ke belakang dan aku terkejut saat siapa yang ada di belakangku. Itu Billy. Aduh kenapa disaat seperti ini dia harus datang. Dia menatapku dan mulai berucap.
"Hai, gak makan?" tanyanya sambil mendudukkan dirinya di bangku di depanku.


to be continue . . .

Is it Love or Like?

Udara dingin pagi ini memaksaku untuk segera bangkit dari tempat tidurku tercinta ini. Kulihat jam waker di atas meja nakasku, ternyata sudah jam 05.00. Segeralah aku bangun untuk bersiap ke sekolah. Namaku Lala. Anak ke-2 dari 2 bersaudara. Sulit menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini. Aku baru saja masuk ke sekolah baruku, namun aku sudah merasa ada seseorang yang memikatku. Ah itu bodoh, pikirku. Semudah itu aku terpikat pada orang yang baru ku kenal di lingkungan yang baru pula. Benar-benar bodoh.

Kurang lebih pukul 05.30 aku sudah selesai mandi dan setelah itu bersiap untuk ke sekolah. Seperti biasa, pukul 05.45 aku sarapan dan bergegas berangkat ke sekolah. Aku ke sekolah bersama kakakku. Namanya Tom. Dia kakak yang baik namun terkadang menyusahkan. Tapi kalau tidak ada dia, aku bisa-bisa pergi ke sekolah jalan kaki. Sesudah aku bersiap dan selesai sarapan, lalu aku langsung berangkat ke sekolah bersama kak Tom.

Coba bayangkan, betapa lambatnya kakakku itu menyetir. Pukut 06.00 kami sudah berangkat, tapi sampai di sekolah pukul 06.25 dan 5 menit lagi bel berbunyi. Padahal jarak antara rumahku dengan sekolah juga tidak begitu jauh. Apalagi kalau aku berangkat diantar kakakku, sekolahku itu akan terasa dekat. Entah mengapa, sepertinya kakakku itu sedang tidak bersemangat untuk kuliah.
"Aku masuk ya kak, udah telat. Bye!" aku langsung berlalu menuju gerbang.
"De' de'... eh iya udah deh bye.." sepertinya dia merasa sangat bersalah.
Baru beberapa langkah aku masuk, seorang cowo yang kata anak sekarang disebut 'kece' dengan mengendarai motornya masuk melewati gerbang. Itu dia orang yang tadi kubilang sudah mamikatku. Dia seniorku. Mataku tak berkedip. Sempat beberapa detik aku terbengong-bengong melihat dia. Tampangnya yang rupawan, dan juga tutur katanya yang bijaksana dan lembut waktu aku mendangar suaranya untuk yang pertama kali beberapa hari yang lalu. Tapi sempat beberapa waktu, kudengar dia bicara dengan nada suara yang agak dingin dan sedikit bersikap cuek kepada lawan bicaranya. Tapi jujur, itu tipe cowoku. Tapi aku cuma -sekedar- suka sama dia, tidak begitu berharap banyak.

Sesampainya di kelas, kelasku masih kosong dan anehnya lagi papan kayu besar pembatas antara kelasku dan kelas sebelah yang biasanya terbentang di belakang kelas kini tidak ada dan membuat ruangan kelasku dan ruang kelas sebelah bersatu. Tiba-tiba ada senior yang masuk ke kelasku.
"De' maaf, kelas ini dan kelas sebelah mau dipakai buat rapat de', makanya pembatasnya dibuka. Jadi untuk sementara waktu kelas kamu dipindah ke lab IPA." dia datang dan menjelaskan tentang keanehan yang kurasakan dikelasku ini, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalaku ini.
"Oh gitu kak, tapi kok ga ada pemberitahuan ya kemarin?" tanyaku singkat.
"Iya soalnya rapatnya mendadak, jadi kemarin gak sempet infoin ke kelas kamu." jawabnya jelas.
"Oh gitu, yaudah. Makasih kak." kataku sekenanya.
"Iya sama-sama."
Senior yang berbincang denganku tadi namanya Aldo. Dia temannya kakak senior yang aku suka itu. Oh ya, nama kakak senior yang aku suka itu Billy. Katanya dia itu half-blood Inggris-Jerman. Dia lahir di Inggris dan akan kembali lagi ke Inggris setelah lulus SMA.

Saat aku mendengar kabar itu dari teman-temanku, aku langsung lemas dan merasa sedih sekali mendengar hal itu. Tapi apa daya? aku tidak mungkin bicara ke Billy kalau aku menyukainya. Aku bukan tipe cewe yang suka mengungkapkan perasaanku kepada orang lain, apa lagi orang yang baru aku kenal.

Sesampainya di lab IPA, aku melihat teman-temanku melambaikan tangan padaku sambil tersenyum meledek.
"Gak lucu tau, kenapa ga kasih tau kalo kelasnya pindah?" tanyaku pada mereka dengan nada bicara yang sedikit agak ku naikkan.
"Emang harus ya?" salah satu dari mereka balik bertanya.
"Eeeerrggghhh...." aku mengerang kesal dan memutuskan untuk duduk saja. Aku berjalan ke tempat dudukku sambil sedikit menghentak-hentakkan kakiku saat berjalan.
"Weits marah. Aduh nona, kalo marah jadi jelek ntar loh." ledek salah satu temanku.
"Bodo!" jawabku cuek tanpa memalingkan wajahku pada yang bertanya.
Tiba-tiba ada seseorang yang masuk. Itu Billy. Dia memanggilku. Sejak kapan dia tau namaku?
"Lala! bisa kesini sebentar?" panggilnya dengan memasang ekspresi wajah yang datar.
Saat itu berlangsung, aku langsung menyuruh Sita, sahabat baruku untuk mencubitku.
"Sita, cubit gue. Kayaknya gue belom bangun nih."
Tanpa aba-aba apapun dariku, Sita langsung mencubit pipiku dengan sangat amat niat.
"Eerrggghhh... Aduh sakit!" erangku kesakitan sambil memegangi pipiku yang pastinya sudah memerah sekarang.
"Sakit banget ya? Hehehehe..." dia bertanya dengan wajah polosnya setelah mencubit pipiku.
"Sitaa, niat banget lo ya nyubit gua? Sakit banget tau!" kataku sambil terus-terusan mengelus pipiku yang agak parih ini.
"Tadi kan lu yang minta?" dia malah balik bertanya dengan wajah polosnya yang lagi-lagi ingin ku tinju.
"Iye da ah."
Billy menarik tanganku dan langsung membawaku keluar kelas.
"Dek', nih sapu tangan kamu ya?" tanyanya sambil memperlihatkan sebuah sapu tangan.
"Eeemmm eh iya kak ini punya aku. Kok bisa sama kakak?" jawabku disertai deguban jantung yang cepat. Semoga dia tidak mendengar suara deguban jantungku ini.
"Ah itu tadi aku liat sapu tangan ini jatuh dari tas kamu pas kamu lagi lari." dia menjawab sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Oh gitu. Aku gak sadar kalo ini jatuh. Makasih ya kak udah dibalikin." aku mengambil sapu tangannya dari tangannya. Deguban jantungku semakin cepat saja. Ayolah jangan membuatku gugup begini.
"Sama-sama dek." sambil tersenyum dan senyumannya itu kini malah membuat jantungku rasanya ingin keluar sekarang juga.
Insiden sapu tangan jatuh pagi ini benar-benar membuatku sangat amat senang sekali. Serasa melayang ke angkasa dan rasanya aku tidak ingin turun sekarang. Baiklah ini agak berlebihan, tapi memang begitu perasaanku sekarang.

Pukul 07.00, guru Biologi sudah masuk ke kelas dan sedang menjelaskan tentang materi pelajaran. Bodohnya selama beliau menjelaskan, aku hanya sibuk berkutat dengan sapu tangan itu.
"Lala... perhatikan kedepan. Sedari tadi ibu lihat kamu hanya memandangi sapu tangan itu." tegur Beliau padaku.
"E.... i.. iii... iiiyaa bu maaf." rasanya malu sekali ditegur guru, padahal ini pelajaran pertama dan yang jelas masih pagi. Billy benar-benar mampu membuatku senang sekaligus merasakan malu di waktu yang hampir bersamaan.

"Itu tadi sapu tangan lo yang dibalikin sama kak Billy kan? Dipandangin mulu, ada apaannya sih?" tiba-tiba Sita menepuk punggungku dan mulai nyerocos.
"Apaan sih? Ga ada apa-apanya." jawabku sekenanya.
"Kayaknya ga mau lepasin itu sapu tangan deh, abis dipegang kak Billy sih ya La... hahahaha..." katanya lagi diakhiri tawa setannya.
"Apaan sih?" lalu aku langsung melesat keluar kelas menuju toilet.
Namun saat menuju toilet, aku menabrak seseorang. Ah, itu Billy. Rasanya jantungku ini berdegup cepat lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Maaf kak Billy maaf aku enggak sengaja kak maaf maaf." katanya dengan sedikit menyunggingkan senyum, walaupun tipis dan malah hampir tidak terlihat.
"Udah enggak apa-apa kok, gak usah banyak-banyak bilang maafnya. Nih sapu tangan kamu jatuh."
"Ha? Hehehe iya kak makasi lagi deh hehehe." ucapku entah dengan ekspresi seperti apa, mungkin ekspresi yang bodoh dan terlihat salah tingkah.
"Yaudah aku pergi dulu ya, masih ada tugas nih. Daaah Lala." dia berlalu, tapi baru beberapa langkah dia membalikkan badannya dan melambaikan tangan padaku. Aduh, rasanya memang jantungku selalu bermasalah bila sedang berhadapan dengannya dan kadang juga rasanya akan segera lompat karena ulahnya.

Pukul 10.06, bel istirahat berbunyi. Aku selalu membawa bekal ke sekolah, karena aku terkadang malas turun untuk ke kantin walaupun kantinnya tidak begitu jauh dari kelasku. Tiba-tiba Sita menepuk pundakku.
"Eh ada Lala. Ke kantin yuk La." ajaknya semangat.
"Gak ah, gue bawa makanan." sambil terus memakan bekalku.
"Yah, yaudah deh kalo gitu. Gue ke kantin dulu ya buat beli makanan, nanti gue balik lagi dan makan disini. Oke." lalu Sita langsung melesat keluar kelas, tapi sebelumnya dia sempat mengerlingkan matanya dengan genit padaku. Aiihh sungguh membuatku ingin meninjunnya.

Beberapa saat setelah Sita pergi, aku mendengar derap kaki mendekatiku. Kupalingkan wajahku ke kiri dan kulihat itu Joe, teman sekelasku juga. Dia membawa bekal juga ternyata. Aku menatapnya dengan tatapan datar.
"Boleh gabung? Gue juga bawa makanan nih." dia bertanya padaku dan mulai mendudukkan dirinya di kursi di sebelahku.
"Ya, silahkan. Gak biasanya gue liat cowo bawa makanan dari rumah." entah apa sebenarnya yang ada di otakku sampai aku bisa berkata begitu.
"Haha gue emang gak terlalu suka makan makanan di kantin. Dan ga cuma itu sih alasannya, gue juga males jalan ke kantinnya. Kan, kalo bawa makanan dari rumah tinggal keluarin makanannya trus langsung dimakan, ga harus jalan capek-capek ke kantin." ternyata dia bawel juga. Padahal aku baru bicara dua kalimat, tapi dia sudah berkalimat-kalimat.
"Oh gitu. Yaudah, selamat makan." aku mulai memakan bekalku lagi. Joe langsung meletakkan bekal yang dibawanya di atas meja dan mulai memakannya.
Tiba-tiba Sita datang dengan membawa makanan dan berbagai cemilan. Dia itu memang sepertinya tidak bisa hidup tanpa adanya cemilan. Sita langsung membalikkan kursi di depan mejaku dan mendudukkannya. Dia memalingkan wajahnya ke kanan. Tiba-tiba dia tersentak, dia terkejut atas kehadiran Joe duduk disampingku.
"Eh, Joe? Sejak kapan lo disini?" dia bertanya pada Joe dengan memasang wajah polosnya lagi.
"Sejak tadi lo ke kantin. Kenapa kaget gitu? Gue kan manusia, bukan hantu." dia menjawab pertanyaan Sita dengan nada dingin, berbeda sekali dengan nada bicaranya padaku tadi.
"Oh gitu." Sita menjawab sekenanya. "Oiya La, gue barusan dengerin anak kelas sebelah ngomong, katanya 'dia' pengen pindah ke Inggris." Sita masih bicara, tapi kali ini wajahnya menunjukkan ekspresi serius dan melihat ke arahku. Dia sepertinya membicarakan Billy.
"Gue udah tau kali." jawabku singkat.
"3 minggu lagi." Sita mulai memasang wajahnya yang lebih serius dari yang tadi.
"HA? MAKSUD LO?" tak sadar aku membanting sendok. Terlihat wajah Joe yang memasang ekspresi terkejut.
"3 minggu lagi 'dia' pindah ke Inggris." oke ini udah mulai bener-bener serius. Aku kaget mendengar apa yang tadi Sita katakan. 'Dia', Billy, akan pindah ke Inggris secepat itu? Ada apa? Sebentar lagi, kan sudah mau memasuki minggu-minggu ujian bagi kelas 12.
"Lo becanda kan? Gak beneran kan?" aku menanggapi perkataan Sita dengan ekspresi yang tak bisa kujelaskan. Air mataku sudah siap untuk meluncur bebas menuruni pipiku.
"Gue serius Lala. Liat muka gue, apa ekspresi gue ada ekspresi becanda? Enggak kan?" katanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.
"Yaudah kalo emang bener gitu, gue gak bisa cegah juga kan?" aku menyerah, aku sadar kalau aku tidak bisa mencegahnya untuk pergi.
Sedih sekali mendengar kabar dari Sita kalau Billy akan segera pindah ke Inggris 3 minggu lagi. Tapi sesedih sedihnya aku, aku bisa berbuat apa? Aku tidak bisa mencegah Billy untuk terus menetap di Indonesia.Terlihat tatapan bingung dari kedua mata Joe. Dia menatap Sita tajam dan langsung berdiri kemudian pergi menuju mejanya. Entah apa yang membuatnya begitu. Sita hanya mengerutkan dahinya pertanda bingung.

Bel masuk berbunyi, kami kembali meneruskan pelajaran. Saatnya pelajaran Sejarah. Saat pelajaran, aku masih saja memikirkan tentang kepindahan Billy 3 minggu lagi sampai-sampai aku ditegur lagi oleh guru. Ingat ya, lagi.
"Lala! Jangan bengong aja, perhatikan ke depan." bentaknya dan membuatku agak sedikit tersentak.
"Iiiyaa pak maaf saya lagi kurang enak badan pak." dustaku pada guruku itu.
"Kalau lagi kurang enak badan, lebih baik kamu ke UKS aja sana. Kamu yang duduk di sebelah Lala, antar Lala ke UKS!" perintah beliau. Lalu orang yang duduk di sebelahku, Sita, mengantarku ke UKS. Padahal aku tidak sakit, tapi hanya sedih gara-gara Billy.

Setibanya di UKS, aku melihat Billy sedang bersama kak Aldo di dalam ruang UKS. Lalu aku berbisik kepada Sita.
"Ta, dengerin deh apa yang lagi diomongin kak Billy sama kak Aldo." pintaku pada Sita dengan sedikit mengecilkan volume suaraku agar tak terdengar oleh mereka.
"Oke deh." jawab Sita sambil mengacungkan satu ibu jarinya.
Kami berdua menguping pembicaraan mereka. Dan kami berdua terkejut setelah mengetahui pernyataan mencengangkan yang keluar dari mulut Billy dan Aldo.
"Bill, lo udah gapapa kan? Apa perlu gue anter pulang? Muka lo pucet banget."  sepertinya itu suara Aldo.
"Ah, udah gapapa kok Do. Gausah sampe kayak gitu, sekolah lebih penting. Oiya Do, tau kan 3 minggu lagi gue bakal ke Inggris buat jalanin pengobatan di sana?" ucap Billy lirih. Ucapannya terlalu panjang, tapi tidak didukung dengan keadaannya. Sepertinya.
"Iya tau Bill, kenapa?" jawab sekaligus tanya Aldo sekenanya.
"Gue titip Lala, anak baru itu ya."
"Ha? Kok nitip sama gue?" tanya kak Aldo sambil mengerutkan dahinya pertanda bingung.
"Lo belom tau ya?"
"Tau apaan?"
"Gue suka sama dia."
Ha? Apa yang baru aku dengar? Aku gak salah dengar? DIA? Dia menyukaiku? Rasanya aku mau melompat sekarang juga. Tapi, cepat-cepat aku mengurungkan niatku dan kembali mendengar pembicaraan mereka. Biarkan hatiku saja yang melompat-lompat saat ini.
"Kok bisa lo suka sama anak baru Bill? Setau gue, lo itu orang yang sulit untuk menyukai orang. Lo itu dingin, ego lo besar dan sulit ngertiin cewe." jelas Aldo panjang lebar dan cukup untuk membuatku tercengang.
"Emang gue kayak gitu, tapi entah kenapa hati gue yang beku kayak gini bisa langsung cair saat liat Lala." jawab Billy cepat dan rasanya aku mau pingsan sekarang juga.
"Terus? Lo mau nyuruh gue jaga Lala sampe kapan?" tanyanya singkat.
"Sampe gue balik lagi ke Indonesia, tapi gue gatau kapan tepatnya gue akan kembali ke Indonesia. Gue janji bakalan jaga dia kalo gue udah sembuh." jelas Billy. Aku bisa lihat, matanya sudah berkaca-kaca.
"Lo pasti sembuh kok bro. Gue yakin lo sembuh." ucap Aldo sambil menepuk-nepuk punggung Billy pelan.
"Thanks Do, lo emang sahabat gue yang paling baik." Billy tersenyum disela-sela ucapannya itu.
"Sip bro." Aldo mengacungkan kedua ibu jarinya dengan semangat.
Ternyata Billy sakit. Sepertinya sakitnya serius sampai-sampai harus berobat ke negara asal dia lahir. Ya Tuhan, sesaat setelah aku mendengar pembincangan kak Aldo dan Billy aku langsung berlari menuju toilet dan menangis di sana.
"Lala! La lo jangan nangis gini dong La, lo denger kan, kata kak Billy apa? Dia sayang sama lo, dia janji bakalan jaga lo saat dia balik nanti ke Indonesia." Sita berlari menyusulku ke toilet. Dia mencoba meredakan rasa sedihku.
Aku tak menjawab ucapan Sita. Aku tetap menangis di sana. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Lala, percaya sama gue, dia pasti balik kesini lagi demi lo." ucap Sita menguatkan.
Setelah beberapa lama aku menangis di toilet, aku keluar dan langsung memeluk Sita.
"Gue janji gak akan nangis Ta, gue bahagia kalo kak Billy sembuh." ucapku sambil terus memeluk Sita.
"Syukurlah kalo gitu, gue support lo kok La. Gue akan selalu ada di samping lo." ucapnya sambil memeluk dan menghapus air mataku.
Mungkin Billy memang suka sama aku, tapi apa dia juga sayang sama aku? Benarkah apa yang tadi dia katakan? Hanya dia dan Tuhan yang tau.

Keesokan harinya, sesaat setelah aku pulang sekolah, Billy meneleponku.
"Sore Lala."
"Sore, siapa ya?"
"Ini Billy, kenal kan?"
"Oh kak Billy, iya kak ada apa ya?" ha? Billy. Oke sepertinya detak jantungku mulai tidak normal lagi.
"Gini, besok ada acara gak?"
"Emmmm kayaknya enggak. Emang kenapa kak?" tanyaku penasaran.
"Aku mau ajak kamu jalan-jalan setelah pulang sekolah besok. Gimana? Mau?" jelas Billy dan membuat jantungku kembali berdegub cepat.
"E.... ee..... eeemm... eeee..." bodohnya aku, hanya itu yang bisa ku katakan.
"Hahahahaha jawabnya yang bener dong La." ucap Billy disela-sela tawanya.
"B.. bbb... bboolleehhh kak boleh hehe." jawabku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
"Oke, besok sepulang sekolah aku tunggu kamu di parkiran." katanya singkat.
"Baik bos hehe." ucapku dengan tawa.
"Oke, sampai ketemu besok ya Lala. Bye." katanya singkat.
"Bye kak." jawabku sekenannya dan langsung menutup teleponnya.
Ya Tuhan, dia mengajakku jalan-jalan? Rasanya tubuhku ini seperti dibawa terbang olehnya dan enggan untuk turun kembali ke bumi.

to be continue. . .