Powered By Blogger

Minggu, 24 Juni 2012

Is it Love or Like?

Udara dingin pagi ini memaksaku untuk segera bangkit dari tempat tidurku tercinta ini. Kulihat jam waker di atas meja nakasku, ternyata sudah jam 05.00. Segeralah aku bangun untuk bersiap ke sekolah. Namaku Lala. Anak ke-2 dari 2 bersaudara. Sulit menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini. Aku baru saja masuk ke sekolah baruku, namun aku sudah merasa ada seseorang yang memikatku. Ah itu bodoh, pikirku. Semudah itu aku terpikat pada orang yang baru ku kenal di lingkungan yang baru pula. Benar-benar bodoh.

Kurang lebih pukul 05.30 aku sudah selesai mandi dan setelah itu bersiap untuk ke sekolah. Seperti biasa, pukul 05.45 aku sarapan dan bergegas berangkat ke sekolah. Aku ke sekolah bersama kakakku. Namanya Tom. Dia kakak yang baik namun terkadang menyusahkan. Tapi kalau tidak ada dia, aku bisa-bisa pergi ke sekolah jalan kaki. Sesudah aku bersiap dan selesai sarapan, lalu aku langsung berangkat ke sekolah bersama kak Tom.

Coba bayangkan, betapa lambatnya kakakku itu menyetir. Pukut 06.00 kami sudah berangkat, tapi sampai di sekolah pukul 06.25 dan 5 menit lagi bel berbunyi. Padahal jarak antara rumahku dengan sekolah juga tidak begitu jauh. Apalagi kalau aku berangkat diantar kakakku, sekolahku itu akan terasa dekat. Entah mengapa, sepertinya kakakku itu sedang tidak bersemangat untuk kuliah.
"Aku masuk ya kak, udah telat. Bye!" aku langsung berlalu menuju gerbang.
"De' de'... eh iya udah deh bye.." sepertinya dia merasa sangat bersalah.
Baru beberapa langkah aku masuk, seorang cowo yang kata anak sekarang disebut 'kece' dengan mengendarai motornya masuk melewati gerbang. Itu dia orang yang tadi kubilang sudah mamikatku. Dia seniorku. Mataku tak berkedip. Sempat beberapa detik aku terbengong-bengong melihat dia. Tampangnya yang rupawan, dan juga tutur katanya yang bijaksana dan lembut waktu aku mendangar suaranya untuk yang pertama kali beberapa hari yang lalu. Tapi sempat beberapa waktu, kudengar dia bicara dengan nada suara yang agak dingin dan sedikit bersikap cuek kepada lawan bicaranya. Tapi jujur, itu tipe cowoku. Tapi aku cuma -sekedar- suka sama dia, tidak begitu berharap banyak.

Sesampainya di kelas, kelasku masih kosong dan anehnya lagi papan kayu besar pembatas antara kelasku dan kelas sebelah yang biasanya terbentang di belakang kelas kini tidak ada dan membuat ruangan kelasku dan ruang kelas sebelah bersatu. Tiba-tiba ada senior yang masuk ke kelasku.
"De' maaf, kelas ini dan kelas sebelah mau dipakai buat rapat de', makanya pembatasnya dibuka. Jadi untuk sementara waktu kelas kamu dipindah ke lab IPA." dia datang dan menjelaskan tentang keanehan yang kurasakan dikelasku ini, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalaku ini.
"Oh gitu kak, tapi kok ga ada pemberitahuan ya kemarin?" tanyaku singkat.
"Iya soalnya rapatnya mendadak, jadi kemarin gak sempet infoin ke kelas kamu." jawabnya jelas.
"Oh gitu, yaudah. Makasih kak." kataku sekenanya.
"Iya sama-sama."
Senior yang berbincang denganku tadi namanya Aldo. Dia temannya kakak senior yang aku suka itu. Oh ya, nama kakak senior yang aku suka itu Billy. Katanya dia itu half-blood Inggris-Jerman. Dia lahir di Inggris dan akan kembali lagi ke Inggris setelah lulus SMA.

Saat aku mendengar kabar itu dari teman-temanku, aku langsung lemas dan merasa sedih sekali mendengar hal itu. Tapi apa daya? aku tidak mungkin bicara ke Billy kalau aku menyukainya. Aku bukan tipe cewe yang suka mengungkapkan perasaanku kepada orang lain, apa lagi orang yang baru aku kenal.

Sesampainya di lab IPA, aku melihat teman-temanku melambaikan tangan padaku sambil tersenyum meledek.
"Gak lucu tau, kenapa ga kasih tau kalo kelasnya pindah?" tanyaku pada mereka dengan nada bicara yang sedikit agak ku naikkan.
"Emang harus ya?" salah satu dari mereka balik bertanya.
"Eeeerrggghhh...." aku mengerang kesal dan memutuskan untuk duduk saja. Aku berjalan ke tempat dudukku sambil sedikit menghentak-hentakkan kakiku saat berjalan.
"Weits marah. Aduh nona, kalo marah jadi jelek ntar loh." ledek salah satu temanku.
"Bodo!" jawabku cuek tanpa memalingkan wajahku pada yang bertanya.
Tiba-tiba ada seseorang yang masuk. Itu Billy. Dia memanggilku. Sejak kapan dia tau namaku?
"Lala! bisa kesini sebentar?" panggilnya dengan memasang ekspresi wajah yang datar.
Saat itu berlangsung, aku langsung menyuruh Sita, sahabat baruku untuk mencubitku.
"Sita, cubit gue. Kayaknya gue belom bangun nih."
Tanpa aba-aba apapun dariku, Sita langsung mencubit pipiku dengan sangat amat niat.
"Eerrggghhh... Aduh sakit!" erangku kesakitan sambil memegangi pipiku yang pastinya sudah memerah sekarang.
"Sakit banget ya? Hehehehe..." dia bertanya dengan wajah polosnya setelah mencubit pipiku.
"Sitaa, niat banget lo ya nyubit gua? Sakit banget tau!" kataku sambil terus-terusan mengelus pipiku yang agak parih ini.
"Tadi kan lu yang minta?" dia malah balik bertanya dengan wajah polosnya yang lagi-lagi ingin ku tinju.
"Iye da ah."
Billy menarik tanganku dan langsung membawaku keluar kelas.
"Dek', nih sapu tangan kamu ya?" tanyanya sambil memperlihatkan sebuah sapu tangan.
"Eeemmm eh iya kak ini punya aku. Kok bisa sama kakak?" jawabku disertai deguban jantung yang cepat. Semoga dia tidak mendengar suara deguban jantungku ini.
"Ah itu tadi aku liat sapu tangan ini jatuh dari tas kamu pas kamu lagi lari." dia menjawab sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Oh gitu. Aku gak sadar kalo ini jatuh. Makasih ya kak udah dibalikin." aku mengambil sapu tangannya dari tangannya. Deguban jantungku semakin cepat saja. Ayolah jangan membuatku gugup begini.
"Sama-sama dek." sambil tersenyum dan senyumannya itu kini malah membuat jantungku rasanya ingin keluar sekarang juga.
Insiden sapu tangan jatuh pagi ini benar-benar membuatku sangat amat senang sekali. Serasa melayang ke angkasa dan rasanya aku tidak ingin turun sekarang. Baiklah ini agak berlebihan, tapi memang begitu perasaanku sekarang.

Pukul 07.00, guru Biologi sudah masuk ke kelas dan sedang menjelaskan tentang materi pelajaran. Bodohnya selama beliau menjelaskan, aku hanya sibuk berkutat dengan sapu tangan itu.
"Lala... perhatikan kedepan. Sedari tadi ibu lihat kamu hanya memandangi sapu tangan itu." tegur Beliau padaku.
"E.... i.. iii... iiiyaa bu maaf." rasanya malu sekali ditegur guru, padahal ini pelajaran pertama dan yang jelas masih pagi. Billy benar-benar mampu membuatku senang sekaligus merasakan malu di waktu yang hampir bersamaan.

"Itu tadi sapu tangan lo yang dibalikin sama kak Billy kan? Dipandangin mulu, ada apaannya sih?" tiba-tiba Sita menepuk punggungku dan mulai nyerocos.
"Apaan sih? Ga ada apa-apanya." jawabku sekenanya.
"Kayaknya ga mau lepasin itu sapu tangan deh, abis dipegang kak Billy sih ya La... hahahaha..." katanya lagi diakhiri tawa setannya.
"Apaan sih?" lalu aku langsung melesat keluar kelas menuju toilet.
Namun saat menuju toilet, aku menabrak seseorang. Ah, itu Billy. Rasanya jantungku ini berdegup cepat lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Maaf kak Billy maaf aku enggak sengaja kak maaf maaf." katanya dengan sedikit menyunggingkan senyum, walaupun tipis dan malah hampir tidak terlihat.
"Udah enggak apa-apa kok, gak usah banyak-banyak bilang maafnya. Nih sapu tangan kamu jatuh."
"Ha? Hehehe iya kak makasi lagi deh hehehe." ucapku entah dengan ekspresi seperti apa, mungkin ekspresi yang bodoh dan terlihat salah tingkah.
"Yaudah aku pergi dulu ya, masih ada tugas nih. Daaah Lala." dia berlalu, tapi baru beberapa langkah dia membalikkan badannya dan melambaikan tangan padaku. Aduh, rasanya memang jantungku selalu bermasalah bila sedang berhadapan dengannya dan kadang juga rasanya akan segera lompat karena ulahnya.

Pukul 10.06, bel istirahat berbunyi. Aku selalu membawa bekal ke sekolah, karena aku terkadang malas turun untuk ke kantin walaupun kantinnya tidak begitu jauh dari kelasku. Tiba-tiba Sita menepuk pundakku.
"Eh ada Lala. Ke kantin yuk La." ajaknya semangat.
"Gak ah, gue bawa makanan." sambil terus memakan bekalku.
"Yah, yaudah deh kalo gitu. Gue ke kantin dulu ya buat beli makanan, nanti gue balik lagi dan makan disini. Oke." lalu Sita langsung melesat keluar kelas, tapi sebelumnya dia sempat mengerlingkan matanya dengan genit padaku. Aiihh sungguh membuatku ingin meninjunnya.

Beberapa saat setelah Sita pergi, aku mendengar derap kaki mendekatiku. Kupalingkan wajahku ke kiri dan kulihat itu Joe, teman sekelasku juga. Dia membawa bekal juga ternyata. Aku menatapnya dengan tatapan datar.
"Boleh gabung? Gue juga bawa makanan nih." dia bertanya padaku dan mulai mendudukkan dirinya di kursi di sebelahku.
"Ya, silahkan. Gak biasanya gue liat cowo bawa makanan dari rumah." entah apa sebenarnya yang ada di otakku sampai aku bisa berkata begitu.
"Haha gue emang gak terlalu suka makan makanan di kantin. Dan ga cuma itu sih alasannya, gue juga males jalan ke kantinnya. Kan, kalo bawa makanan dari rumah tinggal keluarin makanannya trus langsung dimakan, ga harus jalan capek-capek ke kantin." ternyata dia bawel juga. Padahal aku baru bicara dua kalimat, tapi dia sudah berkalimat-kalimat.
"Oh gitu. Yaudah, selamat makan." aku mulai memakan bekalku lagi. Joe langsung meletakkan bekal yang dibawanya di atas meja dan mulai memakannya.
Tiba-tiba Sita datang dengan membawa makanan dan berbagai cemilan. Dia itu memang sepertinya tidak bisa hidup tanpa adanya cemilan. Sita langsung membalikkan kursi di depan mejaku dan mendudukkannya. Dia memalingkan wajahnya ke kanan. Tiba-tiba dia tersentak, dia terkejut atas kehadiran Joe duduk disampingku.
"Eh, Joe? Sejak kapan lo disini?" dia bertanya pada Joe dengan memasang wajah polosnya lagi.
"Sejak tadi lo ke kantin. Kenapa kaget gitu? Gue kan manusia, bukan hantu." dia menjawab pertanyaan Sita dengan nada dingin, berbeda sekali dengan nada bicaranya padaku tadi.
"Oh gitu." Sita menjawab sekenanya. "Oiya La, gue barusan dengerin anak kelas sebelah ngomong, katanya 'dia' pengen pindah ke Inggris." Sita masih bicara, tapi kali ini wajahnya menunjukkan ekspresi serius dan melihat ke arahku. Dia sepertinya membicarakan Billy.
"Gue udah tau kali." jawabku singkat.
"3 minggu lagi." Sita mulai memasang wajahnya yang lebih serius dari yang tadi.
"HA? MAKSUD LO?" tak sadar aku membanting sendok. Terlihat wajah Joe yang memasang ekspresi terkejut.
"3 minggu lagi 'dia' pindah ke Inggris." oke ini udah mulai bener-bener serius. Aku kaget mendengar apa yang tadi Sita katakan. 'Dia', Billy, akan pindah ke Inggris secepat itu? Ada apa? Sebentar lagi, kan sudah mau memasuki minggu-minggu ujian bagi kelas 12.
"Lo becanda kan? Gak beneran kan?" aku menanggapi perkataan Sita dengan ekspresi yang tak bisa kujelaskan. Air mataku sudah siap untuk meluncur bebas menuruni pipiku.
"Gue serius Lala. Liat muka gue, apa ekspresi gue ada ekspresi becanda? Enggak kan?" katanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.
"Yaudah kalo emang bener gitu, gue gak bisa cegah juga kan?" aku menyerah, aku sadar kalau aku tidak bisa mencegahnya untuk pergi.
Sedih sekali mendengar kabar dari Sita kalau Billy akan segera pindah ke Inggris 3 minggu lagi. Tapi sesedih sedihnya aku, aku bisa berbuat apa? Aku tidak bisa mencegah Billy untuk terus menetap di Indonesia.Terlihat tatapan bingung dari kedua mata Joe. Dia menatap Sita tajam dan langsung berdiri kemudian pergi menuju mejanya. Entah apa yang membuatnya begitu. Sita hanya mengerutkan dahinya pertanda bingung.

Bel masuk berbunyi, kami kembali meneruskan pelajaran. Saatnya pelajaran Sejarah. Saat pelajaran, aku masih saja memikirkan tentang kepindahan Billy 3 minggu lagi sampai-sampai aku ditegur lagi oleh guru. Ingat ya, lagi.
"Lala! Jangan bengong aja, perhatikan ke depan." bentaknya dan membuatku agak sedikit tersentak.
"Iiiyaa pak maaf saya lagi kurang enak badan pak." dustaku pada guruku itu.
"Kalau lagi kurang enak badan, lebih baik kamu ke UKS aja sana. Kamu yang duduk di sebelah Lala, antar Lala ke UKS!" perintah beliau. Lalu orang yang duduk di sebelahku, Sita, mengantarku ke UKS. Padahal aku tidak sakit, tapi hanya sedih gara-gara Billy.

Setibanya di UKS, aku melihat Billy sedang bersama kak Aldo di dalam ruang UKS. Lalu aku berbisik kepada Sita.
"Ta, dengerin deh apa yang lagi diomongin kak Billy sama kak Aldo." pintaku pada Sita dengan sedikit mengecilkan volume suaraku agar tak terdengar oleh mereka.
"Oke deh." jawab Sita sambil mengacungkan satu ibu jarinya.
Kami berdua menguping pembicaraan mereka. Dan kami berdua terkejut setelah mengetahui pernyataan mencengangkan yang keluar dari mulut Billy dan Aldo.
"Bill, lo udah gapapa kan? Apa perlu gue anter pulang? Muka lo pucet banget."  sepertinya itu suara Aldo.
"Ah, udah gapapa kok Do. Gausah sampe kayak gitu, sekolah lebih penting. Oiya Do, tau kan 3 minggu lagi gue bakal ke Inggris buat jalanin pengobatan di sana?" ucap Billy lirih. Ucapannya terlalu panjang, tapi tidak didukung dengan keadaannya. Sepertinya.
"Iya tau Bill, kenapa?" jawab sekaligus tanya Aldo sekenanya.
"Gue titip Lala, anak baru itu ya."
"Ha? Kok nitip sama gue?" tanya kak Aldo sambil mengerutkan dahinya pertanda bingung.
"Lo belom tau ya?"
"Tau apaan?"
"Gue suka sama dia."
Ha? Apa yang baru aku dengar? Aku gak salah dengar? DIA? Dia menyukaiku? Rasanya aku mau melompat sekarang juga. Tapi, cepat-cepat aku mengurungkan niatku dan kembali mendengar pembicaraan mereka. Biarkan hatiku saja yang melompat-lompat saat ini.
"Kok bisa lo suka sama anak baru Bill? Setau gue, lo itu orang yang sulit untuk menyukai orang. Lo itu dingin, ego lo besar dan sulit ngertiin cewe." jelas Aldo panjang lebar dan cukup untuk membuatku tercengang.
"Emang gue kayak gitu, tapi entah kenapa hati gue yang beku kayak gini bisa langsung cair saat liat Lala." jawab Billy cepat dan rasanya aku mau pingsan sekarang juga.
"Terus? Lo mau nyuruh gue jaga Lala sampe kapan?" tanyanya singkat.
"Sampe gue balik lagi ke Indonesia, tapi gue gatau kapan tepatnya gue akan kembali ke Indonesia. Gue janji bakalan jaga dia kalo gue udah sembuh." jelas Billy. Aku bisa lihat, matanya sudah berkaca-kaca.
"Lo pasti sembuh kok bro. Gue yakin lo sembuh." ucap Aldo sambil menepuk-nepuk punggung Billy pelan.
"Thanks Do, lo emang sahabat gue yang paling baik." Billy tersenyum disela-sela ucapannya itu.
"Sip bro." Aldo mengacungkan kedua ibu jarinya dengan semangat.
Ternyata Billy sakit. Sepertinya sakitnya serius sampai-sampai harus berobat ke negara asal dia lahir. Ya Tuhan, sesaat setelah aku mendengar pembincangan kak Aldo dan Billy aku langsung berlari menuju toilet dan menangis di sana.
"Lala! La lo jangan nangis gini dong La, lo denger kan, kata kak Billy apa? Dia sayang sama lo, dia janji bakalan jaga lo saat dia balik nanti ke Indonesia." Sita berlari menyusulku ke toilet. Dia mencoba meredakan rasa sedihku.
Aku tak menjawab ucapan Sita. Aku tetap menangis di sana. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Lala, percaya sama gue, dia pasti balik kesini lagi demi lo." ucap Sita menguatkan.
Setelah beberapa lama aku menangis di toilet, aku keluar dan langsung memeluk Sita.
"Gue janji gak akan nangis Ta, gue bahagia kalo kak Billy sembuh." ucapku sambil terus memeluk Sita.
"Syukurlah kalo gitu, gue support lo kok La. Gue akan selalu ada di samping lo." ucapnya sambil memeluk dan menghapus air mataku.
Mungkin Billy memang suka sama aku, tapi apa dia juga sayang sama aku? Benarkah apa yang tadi dia katakan? Hanya dia dan Tuhan yang tau.

Keesokan harinya, sesaat setelah aku pulang sekolah, Billy meneleponku.
"Sore Lala."
"Sore, siapa ya?"
"Ini Billy, kenal kan?"
"Oh kak Billy, iya kak ada apa ya?" ha? Billy. Oke sepertinya detak jantungku mulai tidak normal lagi.
"Gini, besok ada acara gak?"
"Emmmm kayaknya enggak. Emang kenapa kak?" tanyaku penasaran.
"Aku mau ajak kamu jalan-jalan setelah pulang sekolah besok. Gimana? Mau?" jelas Billy dan membuat jantungku kembali berdegub cepat.
"E.... ee..... eeemm... eeee..." bodohnya aku, hanya itu yang bisa ku katakan.
"Hahahahaha jawabnya yang bener dong La." ucap Billy disela-sela tawanya.
"B.. bbb... bboolleehhh kak boleh hehe." jawabku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
"Oke, besok sepulang sekolah aku tunggu kamu di parkiran." katanya singkat.
"Baik bos hehe." ucapku dengan tawa.
"Oke, sampai ketemu besok ya Lala. Bye." katanya singkat.
"Bye kak." jawabku sekenannya dan langsung menutup teleponnya.
Ya Tuhan, dia mengajakku jalan-jalan? Rasanya tubuhku ini seperti dibawa terbang olehnya dan enggan untuk turun kembali ke bumi.

to be continue. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar