Powered By Blogger

Kamis, 28 Juni 2012

Is It Love or Like? PART 4

. . . . . . . . . . .

Astaga! apa yang dia lakukan. Wajahnya semakin dekat, dekat, dekat dan...
"Poninya menghalangi aja sih!" ucapnya sambil menyingkirkan poniku yang menutupi wajahku karena tertiup angin yang cukup kencang sore ini. Aku kira dia akan melakukkan hal yang tidak-tidak padaku. Haruskah aku membersihkan diriku dari pikiran-pikiran kotor?
"Hahaha..... tau nih angin ribet." ucapku canggung. Aku terdiam merutuki diriku yang bodoh ini. Aku menoleh ke kiri dan kulihat Billy yang sedang berdiri merentangkan tangannya lebar-lebar untuk merasakan hembusan angin yang menerpa lembut wajah tampannya itu. Entah sejak kapan dia melakukkan itu. Aku hanya bisa terdiam memandanginya yang sepertinya sangat senang berada disini. Aku mulai mendekat dan memecah konsentrasinya yang sedang merasakan kesejukan sore ini.
"Udah mulai sore, anginnya semakin kencang aja. Sebaiknya kita pulang kak." kataku sambil mensejajarkan posisi berdiriku dengannya.
"Heemmmhhh 5 menit lagi ya. Aku gak tau berapa lama lagi aku bisa rasain ini." kali ini kalimatnya mengingatkanku pada percakapannya dengan Aldo waktu itu....

"Bill, lo udah gapapa kan? Apa perlu gue anter pulang? Muka lo pucet banget."  sepertinya itu suara Aldo.
"Ah, udah gapapa kok Do. Gausah sampe kayak gitu, sekolah lebih penting. Oiya Do, tau kan 3 minggu lagi gue bakal ke Inggris buat jalanin pengobatan di sana?" ucap Billy lirih. Ucapannya terlalu panjang, tapi tidak didukung dengan keadaannya. Sepertinya.
"Iya tau Bill, kenapa?" jawab sekaligus tanya Aldo sekenanya.
"Gue titip Lala, anak baru itu ya."

....menusuk, sangat menusuk. Sepertinya dia memang harus segera pergi. Aku memulai percakapan kami lagi setelah aku terdiam beberapa saat.
"Pasti kakak akan terus rasain sejuknya sore hari kayak gini kok, percaya deh." ucapku sambil mengelus punggungnnya pelan. Tubuhnya terasa dingin, aku mulai takut dengan keadaannya yang seperti ini.
"Hahaha...." dia hanya tertawa. Suara tawanya terdengar memilukan. Entah mengapa sepertinya aku segera menangis sekarang.
"Kak, kita pulang yuk udah sore banget nih." kataku khawatir. Dia hanya menggeleng mantap sambil tetap berdiri tegap merasakan hebusan angin. Aku masih mengelus pelan punggungnya dan aku mulai menatap wajahnya. Astaga, wajahnya pucat. Kekhawatiranku akan dirinya semakin menjadi-jadi. Aku merasakan dirinya mulai kehilangan keseimbangan dan akhirnya....
BRUK!
Dia pingsan, dan disini hanya ada aku dan dia. Apa yang harus aku perbuat. Ya Tuhan tolong aku! Tiba-tiba aku mendengar derap kaki menghampiriku. Semakin cepat dan semakin dekat. Aku menoleh ke belakang dan kulihat Aldo berlari menghampiri aku dan Billy.
"Billy kenapa? ayo kita bawa dia pulang." tanyanya dengan nada suara yang cukup tenang. Sepertinya dia sudah terbiasa melihat Billy seperti ini.
"Enggak tau kak, tadi aku sama dia lagi menikmati suasana taman tapi tiba-tiba dia pingsan. Yaudah kak ayo kita bawa dia pulang. Aku takut dia kenapa-kenapa." jawabku panjang lebar. Suaraku bergetar menahan tangis yang masih bisa kutahan.
"Yaudah ayo." ucapnya singkat. Raut wajahnya berubah dingin sesaat setelah aku mengatakan kalau aku khawatir dengan keadaan Billy saat ini. Ada apa dengannya?

Beberapa saat kemudian, kami sampai di rumah Billy. Waaaaaaaah rumahnya besar, lebih besar daripada rumahku. Ah, bukan saatnya memuji rumahnya. Aldo yang sedaritadi menggendong Billy mengajakku masuk.
"Ayo masuk, jangan bengong aja." ucapnya dingin. Aku langsung tersadar dari lamunanku. Aku langsung masuk mengikuti Aldo dari belakang. Terdengar Aldo meneriakkan sebuah nama saat dia telah sampai di depan pintu.
"Joee....... Joee........" siapa? Joe? apakah?
"Ada apa? tunggu sebentar." ucap seseorang yang dipanggil Joe itu. Aldo menidurkan Billy di sofa sedangkan aku masih terdiam menatap ke arah tangga, menunggu siapa yang akan turun. Tak lama, seseorang menuruni tangga. Orang itu turun sambil menunduk. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Saat dia sudah sampai di bawah, dia memperlihatkan wajahnya dan ternyata itu...
"Joe?" "Lala?" ucap kami serentak. Kami sama-sama kaget melihat satu sama lain. Joe? Kenapa dia ada di rumah Billy? Apa sebenarnya hubungan antara Joe dan Billy?
"Kamu ngapain disini?" tanya kami serentak lagi. Aduh, berilah kesempatan untukku bertanya duluan Joe.
"Ini rumah aku, ya aku disini. Kamu yang ngapain kesini?" jawabnya duluan. Ini rumahnya? Berarti?
"A...aa...aaa...kkuu... aaa..aaakkuuuu... nganterin kak Billy. Ini? ini rumah kamu?" jawabku gugup. Bodohnya aku malah bertanya apa yang tadi sudah Joe katakan.
"Iya ini rumah aku. Kak Billy kenapa kak?" jawabnya padaku dan langsung memalingkan pandangannya ke arah Aldo yang sedaritadi mencoba membuat Billy tersadar dari pingsannya.
"Kakakmu pingsan tadi di taman." jawabnya tenang. Jadi, Billy adalah kakaknya Joe? Kenapa aku baru menyadarinya kalau mereka memang mempunyai kemiripan. Aku terdiam sejenak memandangi wajah Billy dan Joe bergantian. Tiba-tiba Joe menepuk pundakku dan menyuruhku duduk. Haaah mengapa hidupku menjadi serumit ini setelah aku mengenal mereka bertiga?

Sudah hampir setengah jam Billy pingsan dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan siuman. Joe mulai panik dan menelepon papa dan juga mamanya untuk segera pulang. Kata Joe, tidak biasanya Billy pingsan sampai selama ini.
"Pah... cepet pulang pah, kak Billy pingsan tapi udah setangah jam gak siuman-siuman."
"............."
"Oke aku tunggu. Cepet ya pah..."
"Mah... cepet pulang mah, kakak pingsan tapi sampai sekarang belum siuman."
"............."
"Udah dari setengah jam yang lalu."
"............."
"Oke. Cepet pulang ya mah..."
Joe meletakkan ponselnya yang sedaritadi digunakan untuk menghubungi orangtuanya. Adik yang baik. Sepertinya dia sangat menyayangi Billy, kakaknya. Dia mendudukkan dirinya diatas sofa yang kosong. Terlihat tatapannya kosong dan tersirat kesedihan didalamnya. Aku menghampirinya dan duduk disampingnya. Tiba-tiba Joe bicara.
"Kakakku.... sakit...." dia terlihat tenang saat mengatakan itu.
"Sakit? sakit apa?" tanyaku penasaran. Aku memang belum mengetahui Billy sakit apa.
"Ah... tidak. Kau tidak perlu tau. Baiklah aku ke kamar dulu sebentar." dia langsung beranjak dari tempat duduknya dan langsung naik ke kamarnya. Kenapa dia tidak mau memberitaukan penyakit Billy? Apa separah itu?
Aku beralih bertanya pada Aldo yang sedaritadi hanya diam sambil mengaitkan jari-jarinya satu sama lain. Sepertinya sekarang dia sudah mulai panik dan khawatir.
"Kak? kak Billy ke......?" belum selesai aku bertanya, dia sudah memotong pertanyaanku.
"Jangan tanya. Aku gak tau. Dia gak pernah kasih tau aku dia sakit apa. Aku aja yang sahabatnya gak dikasih tau, apalagi kamu yang bukan siapa-siapanya." jawabnya panjang lebar. Kata-katanya menusuk sekali. Apa maksud kata-kata 'bukan siapa-siapanya'? Oh ya, memang aku bukan siapa-siapanya. Billy belum mengatakan apapun padaku.
"Heemmm.... maaf." jawabku singkat. Aku kembali sibuk dengan pikiranku sendiri sampai akhirnya datang seorang pria dan wanita paruh baya berdandanan rapi memasuki rumah Billy. Itu orangtua Billy.
"Billy......" ucap mereka serentak. Terlihat wajah-wajah panik sesaat setelah memasuki rumah ini.
"Joe mana?" tanya papa Billy pada Aldo yang sudah merubah posisinya yang sedaritadi duduk menjadi berdiri.
"Di kamar om." jawab Aldo singkat.
"Oh. Sejak kapan Billy pingsan?" tanya papa Billy padanya. Sepertinya orangtua Billy tidak menyadari keberadaanku sedaritadi disini.
"30 menit yang lalu. Sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit om, tante. Aku takut Billy kenapa-kenapa." ucap Aldo gemetar.
"Baiklah, ayo." ajak papa Billy. Aku ditinggal begitu saja. Mereka benar-benar tidak menyadari keberadaanku disini. Aldo, yang sedaritadi melihatku disini, juga meninggalkanku.

Aku keluar dari rumah Billy, bertujuan untuk pulang. Tapi tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Aku menoleh ke belakang dan menemukan Joe disana.
"Mau kemana?" tanyanya singkat? "Yang lain kemana?" tanyanya lagi.
"Aku mau pulang. Semuanya ke rumah sakit." jawabku lirih. Saat ini yang ada dipikiranku hanya 'pulang'.
"Aku antar. Tunggu sebentar." aku hanya bisa diam menatap kepergian Joe untuk mengambil kunci mobilnya. Tak lama, dia kembali dan langsung menarik tanganku untuk masuk ke mobilnya. Dia mengantarku pulang.
1 menit. . .

5 menit. . .

15 menit. . .
Tak ada yang bicara. Rasa canggung sangat terasa saat ini. Joe hanya menatap lurus ke arah jalanan sambil berkonsentrasi menyetir. Aku, aku hanya diam bersama banyak pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku yang membuatku pusing. Tiba-tiba deheman Joe memecah keheningan.
"Ehhmmm.... gak perlu khawatirin kakak aku. Dia baik-baik aja." ucapnya sekilas sambil tetap menatap jalanan.
"Ya." hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku mencoba bertanya tentang penyakit Billy lagi padanya. "Sebenernya kakak kamu ss...saakit apa?" tak ada jawaban darinya. Aku menunduk lesu mendapati pertanyaanku yang diacuhkan olehnya. Sekitar 3 menit kemudian, dia menjawab apa yang kutanyakan tadi. "Leukimia." jawabnya singkat. Aku membisu, rasannya ada batu besar yang menimpa kepalaku saat ini.
"Menurutmu, Leukimia bisa disembuhkan? untuk apa Billy dibawa ke luar negeri untuk pengobatan kalau penyakitnya saja tidak bisa disembuhkan." ucapku sambil menahan air mata yang sewaktu-waktu bisa saja jatuh.
"Menurutmu, dia mau? tidak! dia harus! dia harus melupakan sahabat kecilnya dulu. Karena dia tau, dia tak akan bisa bersamanya lagi." Joe bicara penuh penekanan. Apa katanya? melupakan sahabat kecilnya? Apa maksudnya?
"Maksudmu? aku tidak mengerti." ucapku polos.
"Apa semudah itu kamu melupakan Panda berpipi tembam milikmu itu? yang dulu sering bermain denganmu, yang dulu sering menangis bersamamu saat dia melihatmu kesakitan? kamu pikir bagaimana perasaan kakakku saat mengetahui waktunya tak lama lagi?" Panda berpipi tembam? kau kah itu Billy? kau yang dulu kuanggap kakakku yang selalu menemaniku saat aku sendirian, saat aku menangis, saat aku kesakitan?
"Panda? dia?" aku tak bisa berkata-kata lagi. "Ya, dia sahabat yang sudah kau anggap kakakmu sendiri." ternyata selama ini, Billy yang kusukai adalah sahabatku waktu aku masih kecil dulu? BODOH! Mengapa aku tidak menyadarinya sejak awal. Mengapa aku BUTA saat melihatnya sekarang? Billy yang dulu kupanggil 'Panda tembam' itu akan meninggalkanku? Itu tidak mungkin. Ini pasti mimpi.

Beberapa saat setelah perdebatan kami, akhirnya kami sampai di rumahku. Joe menghentikan mobilnya di depan gerbang rumahku. Aku pamit masuk. Tapi langkahku terhenti saat aku merasakan ada seseorang yang menggenggam tanganku.
"Ada apa?" tanyaku singkat. "Eeemmmm.... sepertinya keberangkatan kak Billy ke Inggris akan dimajukan." sebenarnya apa yang dia inginkan? sudah membuatku diam seribu bahasa, sekarang apa dia ingin membuatku pingsan disini? "Apa secepat itu?" hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. "Ya." ucapnya singkat sambil menatap mataku. Aku tidak memedulikannya. Aku langsung berlari masuk ke dalam rumahku dan langsung naik ke kamarku. Aku membanting pintu kamarku keras-keras dan langsung menghempaskan tubuhku ke kasur empukku. Baik, ini pertama kalinya aku merasakan sakit yang amat sangat di dadaku. Sedih, sakit, marah, semua bercampur menjadi satu. Tak lama, ibuku masuk ke kamarku sambil berkacak pinggang.
"Kamu mau merusak pintu kamarmu ini ha? Kenapa banting-banting pintu begitu?" ibuku berkata dengan penuh penekanan. Dia tidak sadar kalau anaknya ini sedang menangis.
"............" aku diam, masih menangis.
"Lala? kenapa sayang?" tanya ibuku perlahan. Ibuku mengusap rambutku pelan sambil merengkuh tubuhku ke pelukannya.
"Ibbuuu..... ii..bb..uuu..." aku tidak bisa bicara apapun. Kata-kata yang ingin kuucapkan tak ada satupun yang bisa terucap.
"Kenapa nak? cerita sama ibu." ucap ibuku menenangkan. Aku mulai mencoba bercerita pada ibuku. Ibuku pasti juga akan terkejut mendengar ceritaku.
"Ibb..buu inget Panda tembam?" tanyaku padanya. Aku berusaha menahan isakanku yang akan segera terdengar lagi.
"Inget sayang, sahabat kamu dulu. Haahhh tapi dimana ya dia sekarang. Hampir 10 tahun dia pergi dan tinggal di tempat kelahirannya. Pasti dia semakin tampan hehehe." kalimat ibuku itu mengingatkanku akan kenangan-kenanganku dulu bersama si Panda itu........

"Huhuhuhuhuhu.... ibuuuu sakiiittt....." isakkanku terdengar lebih keras karena lukaku ini. Terdengar langkah kaki kecil mendekatiku. Aku menoleh dan mendapati Panda tembam menghampiriku.
"Lala kenapa? Apa yang sakit?" tanyanya khawatir. Terlihat air mata sudah mulai membasahi pipinya yang tembam.
"Kaki aku sakit Panda. Tadi aku jatuh waktu mau ambil bola aku." aku masih terisak menahan perih di lututku.
"Sini sini Panda lihat." sejenak dia memandangi lututku yang berdarah itu. Dia meniup-niup lututku pelan. "Naah udah gak sakit kan? sekarang ayo kita pulang, kita obati di rumah ya." ucapnya lagi. Dia mengelus rambutku pelan sambil memapahku berjalan menuju ke rumah.

........Panda tembam, apakah kau akan benar-benar meninggalkanku? tidak cukupkah kau 10 tahun pergi? siapa yang akan mengobati lukaku lagi kalau nanti aku jatuh saat mengejar bola? siapa yang akan menenangkanku lagi saat aku menangis melihat mainanku rusak diinjak kak Tom?

Tak lama, aku tersadar dari lamunanku dan kembali ke percakapanku dengan ibu yang sempat terhenti beberapa saat.
"Panda...... Panda sudah pulang bu. Panda sekarang kakak kelasku di sekolah." kataku perlahan.
"Benarkah? oke, kalau begitu besok ajak Panda main ke rumah ya." ucap ibuku antusias. Dia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
"Bu.... gak bisa." ucapku lirih.
"Kenapa gak bisa? dia sibuk sama ujian-ujiannya?" tanyanya penasaran. Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ibuku ini.
"Bbbuu..... Panda sakit...." ucapku diakhiri tangisan memilukan. Aku sudah tak kuat menahan tangisku yang sewaktu-waktu akan pecah.
"Sakit? maksud kamu apa?" tanya ibuku penasaran. "Lala....." ibuku mendesakku untuk segera menjawab pertanyaannya.
"Sakit. Leukimia." ibuku terdiam mendengar ucapanku itu. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca. Sepertinya ibuku juga akan segera menangis. Tak heran ibuku menangis saat mendengar kabar itu. Billy sudah dia anggap seperti anaknya sendiri. Ibuku sangat menyanyangi Billy sama seperti dia menyanyangiku dan kak Tom.
"Sabar sayang....." ucapnya menenangkan sambil merengkuh tubuhku kedalam pelukannya.

SKIP TIME
.
.
.
.

Hari ini, hari keberangkatan Billy ke Inggris. Aku memutuskan untuk tidak mengantarnya ke bandara. Tapi kalau aku tidak mengantarnya ke bandara, aku pasti tidak akan bertemu lagi dengannya. Ah, tidak tidak tidak! aku pasti akan bertemu dengannya lagi. PASTI. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat nama Joe disana.
"Halo Joe."
"Kamu enggak kesini?" tanyanya singkat.
"Sepertinya tidak. Kenapa?" jawabku tak bersemangat.
"Panda mencarimu...."

to be continue. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar